Apakah Engkau Mengasihi Aku?
Bacaan kita saat ini yaitu dari injil Yohanes 21:15-18 yang mengungkapkan percakapan mendalam antara Tuhan Yesus yang sudah bangkit dari kematian dengan Simon Petrus.
Dalam percakapan empat mata itu, Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku?” sampai diulang sebanyak tiga kali. Mengapa tidak cukup sekali saja? Sekali memang tidak cukup, karena yang hendak dituju oleh Tuhan Yesus bukan jawaban Petrus yang keluar dari mulutnya, “Ya Tuhan, aku mengasihi engkau”, bukan! Namun, sebuah jawaban yang keluar dari lubuk hati yang terdalam atau sebuah jawaban yang sudah melewati proses bergumul dan mawas diri yang sangat serius dan tuntas. Itulah sebabnya, baru ketika mendapat pertanyaan yang ketiga, Petrus serta merta terhenyak, tertegun, dan seolah tidak mampu berkata-kata, karena mengalami pergolakan hebat di dalam batinnya. Sehingga ia tidak segera menjawab pertanyaan ketiga dari Tuhan Yesus. Ia menangis dan sedih setelah bergulat dengan kedalaman batinnya, karena menemukan kenyataan bahwa dirinya sering melakukan hal gegabah, tanpa kedalaman juga kadang angkuh. Pernah Petrus dengan lugas dan merasa gagah mengatakan di depan Yesus: “Biarpun mereka semua terguncang imannya karena engkau, aku sekali kali tidak” (Mat. 26:33 ).
Baru setelah Petrus menjawab pertanyaan yang ketiga, yakni sebuah jawaban yang bukan semata keluar dari mulutnya, tetapi jawaban yang diiring oleh air mata penyesalan dan mawas dirinya yang mendalam “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Pada akhirnya Petrus menjadi pemberita Injil yang tangguh.
Inilah buah dari percakapan yang mendalam antara Tuhan Yesus dengan Petrus, buah dari kesediaan untuk menguji diri sendiri, mawas diri. Sebuah dialog yang indah.
Ada satu ilustrasi demikian: Ada seorang ibu yang sedang mengandung berbulan-bulan. Kemudian dia melahirkan sang bayi dengan bertaruh nyawa, terjadilah perubahan hidup si ibu ini. Menghidupi sang anak dengan ASI, setiap tengah malam terjaga dan menahan kantuk, dia tidak lagi merasakan lelah demi cinta kasihnya kepada sang bayi. Cinta kasih sang ibu dicurahkan dengan tulus hati dan tanpa pamrih, situasi ini dilakukannya sampai anak itu bertumbuh… bertumbuh… bertumbuh terus.
Ketika anak itu sudah mulai bisa bermain-main dengan anak tetangga, anak itu mulai tertarik pada ibu temannya (tetangga sebelah) mengapa? Karena ibu ini selalu menawari sang anak dengan makanan yang tampak menarik dan lebih enak, sekalipun makanan itu kurang sehat. Sampai-sampai anak itu melupakan ibu kandungnya, terlebih lagi, ketika anak itu sering bermain ke rumah tetangga itu, dengan fasik dan bangga anak itu menceritakan berbagai kekurangan dan kelemahan ibu kandungnya. Ketika ibu kandungnya mengetahui bahwa anaknya ternyata lebih menyukai ibu tetangga sebelah rumah, sang ibu kandung mengingatkan anaknya. “Rumahmu di sini nak, bukan di situ,“ sang ibu berusaha memberi penjelasan-penjelasan semampunya untuk membangkitkan akal sehat anaknya. Namun ternyata tidak mudah. Sang anak terlanjur kesengsem dengan ibu di sebelah rumah, sang ibu hanya bisa duduk di pojok rumah, sambil mengelus dadanya sembari berbisik lirih di relung hatinya “Apa yang kamu cari anakku? Apakah engkau masih mengasihiku? Dan air matanya pun menetes.”
Pada saat inipun Tuhan Yesus bertanya kepada kita sampai tiga kali: “APAKAH ENGKAU MASIH MENGASIHI AKU?” Jawablah ini dari hatimu dan bukan dari mulutmu. Tuhan memberkati kita semua. Amin! (SJT)