Bajunya kebesaran
Orang Israel sering berperang melawan orang Filistin, ketika Musa memimpin exodus orang-orang Israel keluar dari tanah Mesir. Musa tidak membawa orang-orang Israel langsung dari Ramses menuju Jerikho atau tanah Kanaan guna menghindari pertempuran dengan orang-orang Filistin karena selama di Mesir dan menjadi budak disana mereka jauh dari penglaman berperang, apalagi orang Filistin terkenal mempunyai pengalaman perang yang baik dan kuat (dalam Alkitab, Isak juga pernah berdiam di tanah orang Filistin, waktu itu Abimelekh sebagai rajanya). Musa membawa orang-orang Israel memutar seperti yang ditunjukkan dalam peta di bawah ini. Pertempuran baru terjadi setelah bangsa Israel tiba di tanah perjanjian dan berdekatan dengan tanah orang-orang Filistin yang merasa bahwa bangsa Israel akan merampas tanah mereka.
Ketika itu, orang Filistin sedang mengumpulkan tentaranya untuk berperang melawan tentara Saul. Mereka berkumpul di Sukho di tanah Yehuda dan berkemah antara Sukho dan Azeka di Efes Damim, sementara tentara Saul berkumpul dan berkemah di Lembah Tarbantin. Lalu muncullah seorang pendekar dari Filistin, namanya Goliat (Ibrani, גָּלְיַת – GOLYAT) dari Gat, Goliat mungkin adalah keturunan dari sisa orang Refaim, yang sesudah aksi pemusnahan oleh bani Amon (Ulangan 2:21), menyelamatkan diri dan mencari perlindungan pada orang-orang Filistin. Tinggi badan Goliat adalah enam hasta sejengkal (bahasa Ibrani אמה ‘ammah, antara 44.5 – 52,9 cm) atau sekitar 2,67 – 3,15 meter. Tidak saja postur tubuhnya yang tinggi besar, Goliat juga memperlengkapi diri dengan ketopong tembaga di kepala (berat 2 atau 3 kg), baju zirah yang bersisik beratnya 5000 syikal (@ 11,4 gram) tembaga atau setara 57 kg, penutup kaki dari tembaga, lembing tembaga dengan mata tombaknya seberat 600 syikal besi atau hampir 7 kg. Dengan postur tubuh yang tinggi besar, ditambah dengan pengalaman dan kelengkapan peralatan perang yang demikian itu, Goliat manjadi sosok raksasa yang ditakuti oleh tentara Saul.
Kemudian tentara Filistin bergerak maju semakin mendekat kepada pasukan Saul, dan pada hari ke-empatpuluh, Daud diperintahkan ayahnya untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang sedang berada di medan perang dengan membawa bertih gandum (sejenis gandum/beras yang telah disangrai) dan roti. Daud melihat pasukan Israel berlarian ketakutan menghindari Goliat. Daud kesal karena Goliat telah mencemohkan barisan dari Allah yang hidup, lalu ia mengajukan diri untuk menghadapi Goliat dan yakin bahwa ia akan berhasil mengalahkan Daud karena selama ini Allah selalu melindungi dirinya ketika harus menghadapi para predator yang akan memangsa kambing-dombanya, maka kali ini Allah juga akan melindunginya dari predator yang akan memangsa barisan domba Allah, yaitu bangsa Israel.
Meskipun pada awalnya Saul tidak mempercayai Daud, namun karena tidak ada orang lagi yang berani melawan Goliat, akhirnya Saul memperkenankan Daud untuk maju melawan Goliat. Sebagai tanda simpati, Saul mengenakan baju perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan dikenakannya baju zirah kepadanya (1 Sam 17:38). Itulah yang dikisahkan ketika pasukan Saul menghadapi tentara Filistin, Goliat yang menjadi pahlawan bangsa Filistin, berhasil menakut-nakuti pasukan Saul termasuk dirinya. Namun, apakah Daud bersedia memakai baju perang milik Saul dalam melawan Goliat?
Daud, seorang remaja yang masih muda, saat itu usianya diperkirakan sekitar empatbelas tahun, elok parasnya, kemerah-merahan dan indah matanya; tidak ada tampang petarung pada dirinya dan belum mengenal perlengkapan senjata perang, satu-satunya senjata yang ia kenal hanyalah tongkat gembala yang selama ini menemani dirinya dan digunakan untuk mengusir pemangsa kambing-dombanya ditambah dengan perlengkapan lain berupa umban dan batu licin untuk membunuh para predator tersebut. Baju perang milik Saul itu bagus dan indah karena milik seorang raja besar, dengan tinggi badan diatas rata-rata orang Israel pada waktu itu, namun tidak pas untuk dipakai oleh Daud yang bertubuh kecil; baju perang itu kebesaran untuk ukuran tubuh Daud yang kecil dan menyulitkan pergerakannya sehingga ia terpaksa harus menanggalkan baju perang tersebut.
Seringkali kita terjebak pada pemikiran bahwa apa yang menurut kita baik dan cocok, hal itu pasti akan baik dan cocok bagi orang lain. Sikap patternalistik seorang ayah terhadap anaknya seringkali membuat sang anak suliit mengembangkan bakat dan kemampuannya. Seorang ayah yang berprofesi dokter dan pemilik sebuah rumah sakit memaksakan anaknya sejak kecil untuk menjadi seorang dokter agar dapat meneruskan profesi ayahnya; setelah berdebat panjang, si anak setuju masuk fakultas kedokteran dan lulus sebagai seorang dokter, namun setelah ia menyerahkan ijazah kedokteran kepada ayahnya, ia merasa tugas sebagai seorang anak sudah selesai dan ia pergi dari rumah untuk menjadi seorang musisi. “Baju” yang dikenakan oleh anak dokter itu kebesaran, tidak pas dan mengganggu perjalanan hidupnya sehingga ia harus melepaskan baju tersebut dan menggantinya dengan yang lebih pas, yang memudahkan pergerakan dalam menjalani kehidupan mereka.
Tidak hanya dalam keluarga, di dalam masyarakat maupun di gereja gaya patternalistik sering kali nampak. Alasannya sama seperti Saul, pertama adalah ia khawatir kepada Daud yang masih remaja dan belum berpengalaman dalam peperangan, dan yang kedua adalah ia berkeyakinan bahwa baju perangnya adalah baju yang terbaik, baju zirahnya adalah baju yang tahan senjata tajam, ketopong kepadanya adalah yang paling kuat, namun ia tidak berpikir bahwa baju itu kebesaran, berat dan mengganggu pergerakan Daud sehingga tidak lincah. Dengan segala perlengkapan itu, percayalah Daud yang sudah menanggung beban berat tersebut, mana bisa ia bergerak lincah sambil mengayunkan umban yang berisi batu itu kearah dahi Goliat dengan tepat. Padahal jika benar Saul khawatir akan Daud, seharusnya ia sendiri-lah yang maju berhadapan dengan Goliat karena selain tinggi badannya juga melebihi tinggi rata-rata orang Israel waktu itu (1Sam.9:2), ia juga adalah seorang raja, seorang pemimpin bangsa yang harus tampil ke depan ketika rakyatnya ketakutan pada waktu itu.
Seorang anak yang masih berusia tiga tahun tidak mungkin pas ketika memakai baju atau sepatu ukuran ayahnya, baju atau sepatu itu kebesaran atau terlalu besar bagi anak tersebut. Seringkali dalam hidup ini kita melakukan kekeliruan, maunya mengasihi seseorang padahal justru membebani orang itu; maunya memberi sesuatu kepada seseorang, padahal pemberian itu keliru karena bukan itu yang dibutuhkan oleh orang itu. Terkadang seseorang merasa bahwa selera dan pilihannya orang lain pasti akan sama dengan selera dan pilihan dirinya. banyak mempunyai keinginan dan minat yang sama dengan diri kita, namun sesungguhnya tidak semua orang mempunyai keinginan yang sama.
Dalam keluarga juga terkadang terjadi ketika seorang anak berumur tiga tahun berbuat kesalahan, orangtua langsung mengatakan bahwa anak itu nakal, padahal yang terjadi adalah si anak masih terlalu kecil untuk dapat mengerti apa yang ia perbuat dan memahami perkataan orangtuanya, jadi orangtua-lah yang harus bersabar untuk menjelaskan ucapan mereka. Pertikaian dalam keluarga terkadang dipicu karena tidak ada pengertian antara suami-istri, orangtua-anak, mertua-menantu, dan sebagainya, orang cenderung memaksakan kehendaknya kepada orang lain meskipun belum tentu kehendak itu cocok dengan orang tersebut.
Dalam menjelang Bulan Keluarga 2015 ini, marilah kita mengingat kembali bahwa janganlah memaksa untuk memakaikan “baju perang” kita kepada anggota keluarga yang tidak “seukuran tubuh kita”, karena bukan saja tidak nyaman, juga menjadi tidak berguna karena akan mengganggu pergerakan hidupnya.
Soli Deo Gloria! (iks)