Bergaul karib dengan Tuhan
BERGAUL KARIB DENGAN TUHAN
“Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayb. 1:20-22)
Tidak semua orang memiliki kelekatan (engage) dan ketangguhan (endurance) seperti Ayub dalam menghadapi kehidupan apalagi pencobaan. Secara teori sih kita bisa mengatakan cobaan itu akan menaikkan kelas atau kita bisa mengutip 1 Korintus 10:13 “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu…” Yup!! Semua itu benar. Tetapi saat kita meng- alaminya sendiri, Wuaaaahhh… sangat tidak mudah untuk bisa mengatakan hal itu.
Nah, karena itu kita perlu dengan rendah hati dan tulus belajar dari Ayub, bagaimana ia taat dan tangguh menghadapi cobaan, padahal istrinya sudah tak kuat dan mengumpat: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayb. 2:9). Inilah dasar kekuata Ayub:
- Pertama, Ayub beriman dengan nalar. Hubungan dan pergaulan Ayub dengan?Inilah dasar kekuatan Ayub: Allah, tidak terjadi instan, tetapi sejak masa mudanya (di dalam kemahnya). Ayub telah mengukur kesanggupan imannya, dan Allah tahu persis hal itu. Karena itulah TUHAN berani “bertaruh” dengan Iblis untuk menguji ketaatan dan ketangguhan iman.
- Kedua, Ayub merefleksikan kehidupannya dalam kesadaran akan kepemilikan?sahabat-Nya, Ayub. TUHAN. Hidupnya itu milik TUHAN, harta dan anak-anaknya itu semua milik TUHAN. Jika TUHAN yang memberi, maka TUHAN juga berhak mengambilnya, terpujilah nama TUHAN (Ayb. 1:21). Berbeda dengan kebanyakan kita, yang merasa bahwa apa yang ada pada kita itu milik kita sepenuhnya. Jika diminta oleh TUHAN atau diambil-Nya dengan tiba tiba, kita marah dan bertanya: “Mengapa semua ini terjadi? Mengapa masalah datang bertubi? Apakah TUHAN tak peduli?” Bahkan tak jarang kita berhitung dengan TUHAN dalam “memberi” persembahan.
- Ketiga, Ayub tidak mengandalkan nasehat penghiburan dari manusia. Manusia?dengan banyaknya dalih dan alasan perhitungan. itu kerap menghakimi sesamanya dari ukuran daging semata. Jika sehat dan sukses akan dibilang berkat, jika sakit dan malang akan dikatagorikan kena kutukan. Ayub punya iman di atas rata rata ukuran berkat dan kutuk. Ayub fokus pada TUHAN dan hanya TUHAN saja, sebab ia memang bergaul erat dengan TUHAN sejak masa mudanya.
- Keempat, Ayub berani jujur dan mengoreksi dirinya di hadapan TUHAN. Saat mudanya. semua sudah tak tertahankan, ia mengoyakkan jubahnya, ia memang mempertanyakan kelahirannya, penderitaannya dan apa maksud semua ini. Ujiankah, hukumankah? Blessing-kah? Lesson-kah? Tetapi semuanya itu dikerjakan dengan kejujuran. Ia hanya mencari jawabannya dari TUHAN. Ya dari TUHAN saja. Begitu TUHAN membuka suara-Nya, ia langsung berubah tobat. Taat tak berbantah, sebab memang sejatinya, ia tahu persis TUHAN dan keadilan-Nya. Katanya mengawali pertobatan nalar dan imannya: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb. 42:2). Ya… TUHAN tidak pernah bertindak tanpa alasan, dan segala yang diijinkan terjadi pasti ada maksud dan tujuan-Nya. Pengetahuan (tepatnya ketidaktahuan) kitalah yang membingkai dalam ukuran daging dan kepentingan kita. Sehingga kita sering pakai jurus “seharusnya”. Kita datang ke pendeta (atau siapa saja) dan komplain berkata: “bukankah seharusnya begini dan begitu…” Kita mulai mengatur dengan bingkai pikiran (dan kepentingan) kita agar TUHAN itu “seharusnya” begini dan begitu. Dan jika tidak seperti ukuran pengetahuan kita, maka itu bukan TUHAN.
Berbeda dengan Ayub, yang tetap percaya di semua lintasan peristiwa. Ayub tetap memercayai TUHAN dalam segala perkara. Dalam ukuran-Nya dan bukan ukuran kita. Jika dia belum tahu apa dan bagaimana ukuran-Nya, maka ia duduk dalam abu dan debu, merendahkan diri mencari dan mencari jawabannya dari TUHAN. Ya, dari TUHAN sendiri.
Itulah 4 kekuatan iman Ayub yang mengajak kita untuk merekonstruksi bangunan iman percaya kita. Bukan (hanya) pada berkat tetapi pada TUHAN, yang adalah Allah sekaligus SAHABAT karib kita! (NSI)