Bertahan dan Setia Meskipun dalam Penderitaan
Pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Kesulitan dalam ekonomi, dampak pengurangan karyawan, penghasilan berkurang karena kebijakan pembatasan mobilisasi, pekerjaan yang belum didapat. Sementara biaya yang dikeluarkan tinggi: untuk yang isoman karena paparan Covid-19, bahkan kehilangan anggota keluarga/saudara, tuntutan menopang ekonomi saudara yang kehilangan pencaharian dan lain sebagainya. Mungkin ada pertanyaan: “Di mana Tuhan?, Mengapa Tuhan sepertinya berdiam? Mengapa tidak ada mujizat dalam pandemi ini?
Alkitab mencatat, manusia memberikan pertanyaan yang intinya sama kepada Allah. Ayub dengan penderitaan yang ditanggungnya: “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?” (Ayb. 7:1). Ratap tangis Yeremia akibat hancurnya Yerusalem dan Yehuda dalam kitab Ratapan: “Ah…betapa terpencilnya kota itu, dahulu ramai… Yang dahulu ratu di antara kota-kota sekarang menjadi jajahan” (Rat. 1:1). Begitupun Habakuk: “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!”, tetapi tidak Kau tolong” (Hab. 1:2). Daud ketika menghadapi bahaya atas nyawanya, Paulus di dalam penjara dan akhirnya harus mati, murid-murid Tuhan Yesus setelah kenaikan-Nya ke Sorga karena mereka dikejar-kejar oleh tentara Romawi tetapi tetap memberitakan Injil, dan banyak lagi kisah dalam Alkitab yang mencatat penderitaan dan kesukaran.
Yeremia pastinya tidak pernah membayangkan kota Jerusalem – tempat Bait Suci berada, yang megah itu, runtuh sehingga Yeremia meratap sedemikian rupa. Hatinya sangat sedih, ditambah cara hidup umat saat itu yang jauh dari ketaatan kepada Allah dan penghukuman Allah dengan membuang umat-Nya. Tetapi dalam kehancuran hatinya, Yeremia berkata dalam Ratapan 3:22-23: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu”.
Ayub dengan kepahitan hidup yang dialami sampai berkata: “Sehingga aku lebih suka dicekik dan mati daripada menanggung kesusahanku. Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya” (Ayb. 7:15-16). Dan akhirnya dalam Ayub 42 kita membaca judul yang sangat kontras dari keluhannya yaitu Ayub mencabut perkataannya dan menyesalkan diri: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Padahal ketika itu penderitaan Ayub belum selesai, dalam penderitaannya Ayub justru mendapati Firman Allah adalah kebenaran yang pengertiannya tidak diketahui, akhirnya Ayub pun duduk menyesal dalam debu dan abu!
Saudara-saudara, kita bersyukur memiliki Tuhan yang telah mendemonstrasikan kemenangan-Nya atas maut. Anugerah keselamatan atas dasar kasih karunia- Nya tidak sebanding dengan kesukaran yang dialami tokoh-tokoh dalam Alkitab, termasuk dalam hidup manusia kini. Pun kesukaran di masa pandemi ini tidak lantas mengesampingkan pertolongan-Nya bagi kita. Berlaku setia adalah perintah Allah kepada umat Israel, dan berlaku juga sebagai perjanjian-perjanjian kekal-Nya kepada semua umat yang sudah ditebus-Nya
Kesetiaan bermakna bahwa seluruh hidup kita punya arti. Melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, meski terlihat atau tidak oleh orang lain. Perbuatan kecil maupun besar. Kesetiaan tidak mungkin terjadi dalam hidup kita tanpa pengenalan & relasi yang intim dengan Juruselamat, serta hidup bergantung dan melekat kepada Tuhan. Kesetiaan juga berarti bagaimana kita menjalani hidup keseharian kita. Tentang bagaimana kita menyukuri setiap kesempatan yang diizinkan-Nya mampir dalam hidup kita. Termasuk bagaimana menggelorakan sukacita melakukan panggilan-Nya dalam hidup kita menolong orang lain, bukan pada saat kita dalam kelebihan, justru dalam kecukupan bahkan ketika kita berkekurangan.
Setiap orang suatu saat mungkin diizinkan-Nya mengalami penderitaan berat, maka kesetiaan menjadi jawaban untuk membiarkan TUHAN menuntun hidup kita melewatinya. (PSG)