Dengarkanlah suara kami wahai para penguasa
DENGARKANLAH SUARA KAMI WAHAI PARA PENGUASA
1 Raja-raja 12:1-20
Seorang raja seharusnya memiliki kuasa, kewenangan, dan kewibawaan. Mungkin Daud dan Salomo memiliki semuanya, setidaknya dalam ingatan kolektif orang. Keduanya memiliki kewibawaan yang membuat mereka dianggap pemimpin yang cakap. Kewenangan yang mereka miliki bersumber dari urapan yang mereka terima dari Allah sendiri. Sebagai raja mereka menjalankan kekuasaan atas Israel, dan Israel tunduk pada mereka.
Namun apakah setelah Salomo, masih adakah raja yang memiliki ketiganya sekaligus? Bacaan ini menceritakan terpecahnya kerajaan dan sekaligus terpecahkan tiga aspek yang dimiliki oleh raja Israel sebelumnya. Sang raja dari garis keturunan Daud ternyata hanya memiliki kuasa atas sanak-keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan suku-suku Israel lainnya memilih untuk meninggalkannya.
Raja muda yang ditinggalkan ini diceritakan mengabaikan nasihat dan pertimbangan para tua-tua Israel, dan lebih memilih mengikuti anjuran sahabat-sahabatnya, orang-orang muda. Apakah penulis kitab ini hendak menceritakan pertentangan dan persaingan antar-generasi? Mungkin ya, mungkin tidak. Saya mencoba memahaminya dengan cara ini.
Tradisi tua-tua Israel merupakan tradisi yang lebih tua dari kerajaan. Para tua-tua Israel umumnya adalah para pemimpin lokal dari berbagai keluarga ataupun keluarga besar. Mereka berbeda dengan sistem kerajaan yang terpusat, sentralistik. Mereka cenderung parokial, serba lokal.
Sekalipun mereka para pemimpin lokal yang berkiprah pada tingkatan daerah masing-masing, bukan berarti mereka menolak kerajaan yang sentralistik. Hal ini telah mereka perlihatkan bahwa selama dua atau tiga generasi mereka sudah mulai terbiasa dan bisa menerima sistem kerajaan. Kenyataan bahwa para tua-tua Israel masih tetap bertahan, hal ini memperlihatkan bahwa sistem kemasyarakatan dari era pra-kerajaan tetap ada dan diterima, serta dapat hidup berdampingan dengan sistem yang lebih baru.
Persoalan dengan sang raja muda, putra Salomo, adalah ia mengabaikan hal yang sangat penting, ia mengabaikan para tua-tua dan sebetulnya juga seluruh sistem nilai dan kemasyarakatan yang terkait dengan itu. Akibatnya adalah ia mendorong dimulainya suatu era yang baru – zaman dua kerajaan.
Era baru ini tidak dengan sendirinya zaman yang lebih baik. Tapi itu soal lain lagi, dan akan dibicarakan ketika merenungkan bacaan yang lain dari Raja-raja dan Tawarikh. Bagi saya cerita ini pertama-tama bukan kisah persaingan antar-generasi. Bukan soal raja lebih memperhatikan saran teman-temannya, orang muda; dan pada saat yang sama mengabaikan seruan dari para tua-tua, yang mungkin sama sekali tidak dikenalnya. Ini bukan kisah kesenjangan antar generasi, bukan pula konflik antar generasi. Melainkan kisah mengenai komunikasi yang tidak berjalan. Bukan hanya mis-komunikasi antar-generasi, tetapi yang lebih serius adalah mis-komunikasi antar-kepentingan.
Dalam kehidupan bersama kita semua memiliki kepentingan, ada kepentingan pribadi, dan ada kepentingan bersama. Demi kepentingan bersama, kita kadang, bahkan sering, perlu mengurbankan kepentingan pribadi. Pengurbanan itu bisa dilakukan dengan rela, bila terjadi komunikasi yang hidup. Namun bila kepentingan bersama dipaksakan atas kepentingan pribadi-pribadi, tanpa komunikasi yang baik… maka rusaklah komunitas. Kuasa, kewenangan, dan kewibawaan tidak lagi berarti. (YSO)