Kalibrasi hati
Kalibrasi Hati
Saat ini, hampir setiap waktu dalam sehari kita diperiksa suhu tubuh kita, biasanya dengan thermo gun, thermal imaging camera atau dengan metode lain tanpa bersentuhan secara fisik. Kita senantiasa diposisikan sebagai seorang “tersangka”, walaupun belum disertai bukti awal sehingga sebenarnya belum layak sebagai tersangka, namun “proses pembuktian awal”-nya cukup menyita waktu. Dalam pemeriksaan suhu tersebut, kita senantiasa diposisikan sebagai pihak yang dicurigai sebagai penderita gejala virus COVID-19 sampai kecurigaan tersebut terbukti tidak benar dengan bantuan hasil pengecekan suhu tubuh itu. Inilah salah satu rangkaian protokol kesehatan sebagai adaptasi kebiasaan baru.
Suatu “sangkaan” bahwa kita terindikasi penderita gejala virus COVID-19, salah satunya mungkin dapat terjadi akibat kerusakan alat pengukur suhu sehingga termometernya menunjukkan kita memiliki suhu tubuh di atas ambang batas yang disyaratkan.
Namun apakah vonis tersebut dapat mutlak dipercaya dan diterima?
Wajar jika sebagian besar dari kita akan merespon dengan melakukan penolakan hasil, apalagi jika kita secara sadar tidak merasakan gejala yang di-”sangka”-kan tadi. Kita mungkin akan meminta pengecekan ulang dengan alat yang sama (jika tersedianya hanya itu) atau meminta diukur dengan alat yang lain, atau kita mungkin akan berdalih dengan memperbandingkan dengan hasil pengecekan suhu yang dilakukan pada waktu sebelumnya. Pokoknya nolak dulu!! Menyerang balik dengan alasan bahwa alat ukurnya yang salah, adalah pertahanan terbaik, karena, menurut teori, salah satu pertahanan terbaik adalah menyerang.
Ketika ada masalah kepercayaan pada kualitas alat ukur, maka realibilitas dan validitas alat ukur suhu menjadi hal yang penting. Pihak pengukur harus dapat membuktikan bahwa alat ukur yang digunakan telah dikalibrasi dengan baik sehingga hasil ukurnya realibel dan valid serta layak untuk dijadikan acuan.
Seperti aplikasi protokol kesehatan di awal, kita seyogyanya juga senantiasa melakukan pengecekan kondisi hati kita, baik secara periodik juga secara insidental. Secara periodik pada awal hari ataupun pada akhir hari ketika kita bersaat teduh, dan secara insidental ketika kita akan mengambil suatu keputusan, saat dihadapkan pada pilihan tertentu, khususnya pilihan keputusan yang membenturkan prinsip hidup Kristen dengan praktik realitas keseharian kita.
Pengecekan periodik dapat dikondisikan sebagai proses kalibrasi komitmen, di mana proses “alignment” dilakukan ketika situasi hati dan pikiran kita cenderung bebas dari tekanan karena konflik belum ada di depan mata. Sedangkan proses pengecekan insidental seumpana ujian lapangan, di mana terjadi proses pembandingan antara ukuran prinsip Kristen dengan realitas dilakukan on the spot secara real time, tepatnya ketika tekanan itu ada di depan mata. Proses negosiasi akan terjadi dalam internal diri kita, kompromi dan justifikasi mungkin akan banyak terjadi dalam waktu yang terbatas karena tuntutan untuk segera mengambil keputusan. Seberapa realibel dan valid alat ukur yang kita pakai tergantung pada proses kalibrasi harian, mingguan, ataupun tahunan kita.
Tentu saja ukuran yang paling valid dan realibel adalah Allah sendiri, Allahlah yang menjadi rujukan semua perilaku dalam seluruh kehidupan kita, sehingga sangat tepat jika kita meniru Pemazmur untuk selalu mengundang Allah dalam seluruh proses kalibrasi kita. Dan sejatinya memang kita tidak pernah seorang diri dalam menjalani tiap proses ujian lapangan itu, Roh Kudus akan senantiasa menyertai, menolong dan memberi tuntuan kepada kita ke jalan yang kekal seperti permohonan Pemazmur dalam Mazmur 139:23-24 “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (KWP)