Kembalikanlah Taman Edenku!
Lahir dan dibesarkan di pulau terpencil, tanpa listrik, tanpa kendaraan bermotor, tanpa televisi dan radio serta semua kelengkapan modern lain merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Hidup di pulau tersebut, saya bisa bermain di tepi pantai, berenang di laut yang bersih dan bening, sambil menangkap ikan-ikan kecil dan langsung dimakan mentah. Pada saat yang lain, saya bermain di gunung dan lembah, mandi di kali yang jernih, makan buah-buahan hutan, dan minum air alami dari mata air yang jernih. Saya merasa hidup seperti di taman Eden. Pengalaman seperti itu, rasanya sudah tidak dialami oleh sebagian besar generasi masa kini. Terlebih bagi mereka yang lahir dan dibesarkan di perkotaan. Gambaran kehidupan di perkotaan dan sub perkotaan yang saat ini saya alami, sangat kontras dengan masa lalu saat masih tinggal di pulau terpencil. Sekarang, saya tidak lagi bisa menikmati musik alam dari deburan ombak yang mengiringi waktu tidur pada malam hari. Tidak ada lagi wangi dedaunan dan kicauan burung menyambut pagi. Semua itu sudah terganti dengan bau sampah dan asap kendaraan bermotor. Alarm dari telepon genggam telah mengganti kokok ayam pada pagi hari.
Allah menciptakan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis melata di muka bumi. Allah melihat semuanya itu baik (Kej. 1:25). Kisah penciptaan dalam Kejadian 1-2 merupakan kisah indah, seperti kisah indah di pulau terpencil yang saya alami. Allah menciptakan manusia untuk berkuasa atas seluruh ciptaan-Nya (Kej. 1:26). “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka :”beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1: 28). Kejadian 1 diakhiri dengan “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik…” (Kej. 1:31a). “Selalanjutnya Tuhan Allah membuat taman Eden, … Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, dan yang baik untuk dimakan buahnya…” (Kej 2:8-9a). “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15).
Kisah indah yang dikisahkan dalam Kejadian 1 dan 2 itu, berubah menjadi menyedihkan dalam Kejadian 3. Allah mengusir manusia dari Taman Eden. (Kej. 3:23-24). Kisah ini dialami oleh manusia saat ini, menderita akibat ulahnya sendiri.
Kuasa dan kebebasan yang Tuhan berikan kepada manusia digunakan secara tak bertanggung jawab. Betapa banyak pabrik tidak mengelola limbah dengan baik. Air sungai tercemar oleh limbah pabrik yang akhirnya mengotori laut dan mematikan biota laut termasuk plankton dan ikan. Padahal planktonlah yang banyak menghasilkan oksigen bagi manusia dan menjadi sumber makanan bagi ikan yang akan dikonsumsi manusia. Masyarakat masih membuang sampah plastik secara sembarangan dan mencemari tanah, air, dan udara. Air laut Indonesia dijejali jutaan ton sampah plastik setiap hari.
Menurut Yuval Noah Harari, profesor Universitas Ibrani Yerusalem, dalam bukunya 21 Lessons for 21st Century, ada tiga ancaman bagi masa depan peradaban, yaitu perang nuklir, kerusakan lingkungan hidup, dan kecerdasan buatan. Khusus untuk menghindari keruntuhan peradaban manusia karena kerusakan lingkungan hidup, sudah saatnya kita ikut berperan secara nyata. Marilah kita mengambil peran itu. Jangan menunggu nanti atau esok hari, karena ketika lingkungan hidup sudah tercemar parah, tidak ada cara untuk kembali. Saat lapisan ozon rusak, es di kutub mencair, dan daratan tenggelam, maka pada saat itu anak cucu kita akan menyalahkan kita, karena tidak menjaga anugerah Tuhan. Mereka akan berteriak: “Kembalikanlah Taman Edenku!” (HOM)