Kesombongan
Teringat akan film Devil’s Advocate, di mana Kevin Lomax yang diperankan oleh Keanu Reeves, seorang pengacara yang berasal dari keluarga yang religius dan pindah ke kota besar (New York) dan diterima di kantor pengacara terkenal, kemudian menghadapi realita bahwa atasannya ternyata adalah seorang pengacara yang kejam dan memiliki kekuatan jahat (digambarkan dalam bentuk seorang pengacara dengan asisten wanita cantik yang menggoda). Singkat cerita, Kevin Lomax tidak menuruti kehendak atasannya dan menghadapi tantangan serta godaan sebagai manusia biasa, namun karena berasal dari keluarga yang taat dan beriman, maka Kevin dapat mengatasinya dan cerita berakhir sebagai “Happy Ending”, yang baik mengalahkan yang jahat.
Namun di adegan penutup Kevin dikejar oleh seorang wartawan yang menanyakan apakah dia mau diwawancarai mengenai kisahnya yang begitu mengagumkan dan Kevin bersedia untuk diwawancarai serta kisahnya dimuat dalam majalah, di saat itulah sang wartawan (yang ternyata adalah jelmaan atasannya, yaitu sang Devil) menoleh ke kamera dan mengatakan “Vanity… Definitely, my favorite sin,” yang kurang lebih dapat diartikan “Kesombongan.., Jelas dosa favoritku”.
Adegan ini begitu membekas dalam ingatan saya, karena setelah perjuangan begitu panjang dan susah payah, diakhiri dengan “Happy Ending”, ternyata sang Devil masih juga belum menyerah dan bisa mencobai dengan me- nawarkan kisahnya dimuat dalam majalah sehingga Kevin berharap dia menjadi pahlawan dan terkenal.
Iblis yang sudah mencobai manusia sejak di Taman Eden, mempunyai segala macam cara agar manusia jatuh ke dalam dosa dan menjauh dari pergaulan dengan Tuhan, salah satunya sifat manusia yang ingin lebih dari yang lain dan akhirnya melupakan peran Tuhan dalam kehidupannya selama ini.
Kisah raja Saul sebagai raja pertama bangsa Israel, yang diurapi dan diberkati Allah, berakhir dengan kejatuhannya dalam dosa, dengan memberanikan diri mempersembahkan korban bakaran yang seharusnya bukanlah kewenangan seorang raja dan tidak mengikuti perintah Tuhan (2Sam. 13).
Kemudian raja Uzia juga menjadi korban dari kesombongan, ketika dinobatkan menjadi raja Yehuda, ia mengawali semuanya dengan baik, takut akan Tuhan dan mencari Dia dengan sungguh-sungguh, sehingga apa yang dibuatnya berhasil. Namun ketika merasa dirinya sudah menjadi raja yang sangat berkuasa, ia melakukan kesalahan fatal yaitu: “Setelah ia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal yang merusak. Ia berubah setia kepada TUHAN, Allahnya, dan memasuki bait TUHAN untuk membakar ukupan di atas mezbah pembakaran ukupan” (2Taw 26:16).
Dan banyak lagi kisah kehidupan seseorang yang sebenarnya adalah anak- anak Tuhan yang setia dan berjalan bersama Tuhan, namun di suatu titik kehidupannya juga jatuh dalam dosa diakibatkan oleh kesombongan yang merupakan titik lemah.
Tidak disadari kita sebagai bagian dari kehidupan sosialnya juga secara tidak langsung berperan dalam kejatuhannya dalam dosa, dengan mengkultuskan/ mengistimewakan seseorang yang cara berbicara dan pemikirannya dianggap lebih hebat secara tidak rasional, pokoknya apa yang beliau bilang pasti benar dan harus diikuti, tidak ada seorangpun yang berani menentang, menegur atau menasehatinya karena begitu banyak pengikut dan besar kuasanya.
Hal ini menjadi pengingat kita, bahwa kita hanya manusia biasa yang masih harus belajar dan mendapatkan kesempatan untuk dikoreksi atau dinasehati oleh sesama kita, karena kita yang mungkin telah mencapai satu titik keberhasilan dalam kehidupan ini tidaklah menjadi lengah masuk dalam jebakan kesombongan dan pada akhirnya tidak mengalami “Happy Ending” sesungguhnya yaitu pada saat kedatangan Tuhan kembali. Kiranya Tuhan menolong kita semua. Soli deo Gloria (DHA)