Ketaatan
Pandemi Covid-19 sampai saat ini masih berlangsung, kita tidak tahu kapan akan berakhir sehingga mengakibatkan banyak orang mengalami pergumulan hidup atau penderitaaan yang berat. Pada saat mengalami pergumulan hidup, tentu saja kita membutuhkan solusi manjur yang segera dapat meringankan beban tersebut. Kita sudah mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan banyak berdoa, membaca Alkitab setiap hari, berpuasa ataupun melakukan tindakan-tindakan kebaikan yang kita anggap dapat meringankan beban ataupun keluar dari pergumulan hidup yang kita hadapi. Akan tetapi, bagaimana perasaan kita jika solusi yang ditawarkan itu, ternyata jauh berbeda atau bahkan lebih buruk dari harapan kita? Mungkin kita marah, kecewa, putus asa, depresi bahkan kita malah marah kepada Tuhan atau kita menyalahkan Tuhan, karena kita merasa Tuhan tidak menolong. Pernahkah kita mengalami hal serupa?
Pengalaman nabi Elia tidak jauh berbeda dengan kondisi yang demikian. Di saat kelaparan dan kekeringan terjadi, Elia tidak disuruh pergi ketempat yang berlimpah air dan makanan, ataupun berkunjung ke rumah seorang saudagar yang kaya. Alkitab mengatakan dalam 1 Raja-raja 17: 8-9 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” Tuhan justru memerintahkan Elia untuk pergi menjumpai seorang janda di Sarfat. Elia saat itu membutuhkan pertolongan, namun diperintahkan untuk menjumpai seorang perempuan beranak satu, yang juga sedang menderita di tengah bencana yang sama. Uniknya, Elia tidak menolak. Dia taat, Elia pergi mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Ketaatan Elia merupakan wujud imannya kepada Tuhan. Elia percaya bahwa Tuhan selalu menepati janji pemeliharaan-Nya. Di tengah berbagai kondisi kehidupan, termasuk yang tidak menyenangkan, Tuhan pasti akan menjaga orang-orang yang tetap setia dan taat pada kehendak-Nya. Itu terbukti, ketaatan Elia tidak hanya menyelamatkan dirinya di tengah bencana kelaparan yang terjadi, tetapi juga berdampak bagi kehidupan sang janda bersama anak perempuannya, tepung tak kunjung habis, minyakpun tak berkurang. Peristiwa ini mengingatkan kita supaya mau memberi diri dalam rancangan kebaikan yang sedang Tuhan kerjakan bagi kita dan juga bagi orang lain melalui kita.
Apakah hidup kemudian berjalan tanpa persoalan? Tentu tidak. Pergumulan yang dialami Elia bersama janda di sarfat bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal nyawa. Hal ini menggambarkan bahwa persoalan bisa datang bertubitubi, tidak ada habisnya seakan mau menghancurkan kita. Namun, ingatlah kuasa Tuhan jauh lebih besar dari persoalan kita dan cinta-Nya sanggup mengalahkan segalanya. Yang tidak kalah menarik, di ujung kisah ini, terucap sebuah pengakuan dari janda di Sarfat akan kebenaran firman Tuhan, 1 Raja-raja 17: 24 Kemudian kata perempuan itu kepada Elia: “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar”.
Pernyataan perempuan ini semakin memperteguh iman dan ketaatan Elia kepada Tuhan yang dia sembah. Nah, bagaimana perasaan kita jika melalui sikap dan perbuatan kita, orang lain akhirnya mengakui dan memuliakan kuasa Tuhan?
Dari pengalaman nabi Elia ini, kita disadarkan supaya dalam hidup setiap hari, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, tetaplah berpegang pada pemeliharaan dan firman Tuhan. Jangan tinggalkan iman, jangan tinggalkan Tuhan. Kita diminta untuk tetap taat dan setia kepada-Nya. Dialah sumber dan pemelihara kehidupan kita.
Imanuel, Allah beserta kita. (HPT)