Memandang rupa
Memandang Rupa
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seseorang dinilai dari rupa atau penampilan sebelum dikenal dengan baik, karena “First Impression” itulah yang dianggap benar. Karenanya orang berusaha untuk tampil sebaik mungkin dan menjadi rupa yang menawan bagi orang-orang di sekitarnya dengan berbagai cara: berbusana dengan anggun, melakukan riasan muka, mengenakan perhiasan atau bahkan melakukan tindakan medis untuk meningkatkan penampilannya. Rupa yang menawan tentu lebih baik daripada rupa yang kurang menawan. Implikasinya, orang dengan rupa menawan lebih banyak memiliki teman dan sambutan dari lingkungannya, khususnya pada saat permulaan pertemuan.
Lalu bagaimana jika seseorang tidak mempunyai rupa yang menawan? Apakah orang tersebut lalu otomatis tidak akan memiliki banyak teman? Kita bisa melihat di dalam kehidupan, orang dengan rupa yang kurang menawan memiliki kelebihan lain dan orang tersebut dapat memaksimalkan kelebihannya itu untuk menutupi kekurangan fisiknya sehingga dapat memiliki popularitas dan pengaruh dibandingkan orang yang hanya memiliki rupa menawan namun tidak dapat menunjukan kualitas diri bagi kepentingan orang sekitarnya. Pada akhirnya setelah beberapa kali pertemuan dan berinteraksi, kualitas yang sebenarnyalah yang menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk berteman dan berhubungan dalam kehidupan sosial.
Dalam kisah yang kita baca di Alkitab, Tuhan memilih Saul sebagai raja Israel pertama dan digambarkan bahwa dari segi penampilan Saul itu tidak ada duanya: “namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya; tidak ada seorangpun dari antara orang Israel yang lebih elok daripadanya: dari bahu keatas ia lebih tinggi daripada setiap orang sebangsanya” (1Sam. 9:2b). Semua orang Israel menyukainya, karena seorang raja merepresentasikan atau symbol suatu bangsa. Namun dalam perjalanan waktu, Saul ternyata tidak setia dan percaya kepada Tuhan sepenuhnya sehingga “dilengserkan” dan Tuhan memerintahkan Samuel untuk pergi ke rumah Isai untuk mengurapi salah seoranganaknya sebagai raja menggantikan Saul. Dan Samuel pun melakukanapa yang sering kita lakukan saat ini: “Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: “Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.” Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1Sam. 16:6-7). Lalu dengan petunjukTuhan, Samuel memilih dan mengurapi Daud yang bertubuh kecil dan elok kemerah-merahan (tidak gagah perkasa) yang hanya berprofesi sebagai gembala domba ayahnya, sebagai raja Israel menggantikan Saul.
Bukan penampilan, jabatan atau jenis pekerjaan yang menjadi tolok ukur bagi Tuhan dalam memilih pelayan-Nya, kita semua dipakai Tuhan untuk mewujudkan rencana-rencana-Nya di kehidupan ini. Tuhan melihat kesetiaan dan kerendahan hati yang tidak terlihat oleh mata manusia, tapi perjalanan waktulah yang menunjukkan kualitas dan karya kehidupan. Walau pun saat ini dia “bukansiapa-siapa”, namun yang dilakukannya berdampak besar bagi kehidupan.
Temak hotbah minggu ini yang mengusung soal Memandang dengan Sebelah Mata, akan memberikan pemahaman baru atau setidaknya menyadarkan bahwa kita sering menilai seseorang dari penampilan dan jabatannya serta tidak berusaha mengenalnya dengan baik terlebih dahulu. Memandang dengan sebelah mata atau menganggap remeh seseorang, adalah suatu kesalahan. Kehidupan kita saat ini tidak terlepas dari peran mereka, misalnya pengemudi, asisten rumah tangga, keamanan, dan lain-lain. Bahkan di gereja pun kita masih menggunakan konsep berpikir, bahwa seseorang tidak akan mampu melakukan pelayanan yang diberikan hanya karena penilaian kita sekilas tanpa berusaha mengenalnya lebih dalam, sehingga kita mengecilkan kuasa Tuhan atas setiap orang yang bersedia dan taat kepada-Nya.
Marilah kita menyadari kesalahan selama ini dan memandang orang lain tidak hanya dari rupa saja. Tuhan memberkati kita. (DHA)