Menebar cinta menuai sukacita
Menebar cinta menuai sukacita
Penggemar serial Princess kartun Walt Disney tentu kenal dengan sosok Maleficent, Peri Kegelapan yang muncul dalam kisah Sleeping Beauty. Peri bertanduk dengan pakaian serba gelap itu adalah tokoh antagonis yang mengutuk Putri Aurora tertusuk jarum dari mesin pemintal sehingga tertidur lelap.
Transformasi Maleficent menjadi peri kegelapan ternyata memiliki alasan yang melatari yakni karena ia pernah tersakiti oleh seseorang. Rasa kecewa dan sedih itu tumbuh menjadi dendam yang kemudian mendorongnya untuk menyakiti orang lain. Maleficent menumpah- kan kebencian itu kepada Aurora. Beruntung, sikap baik Aurora, seorang bocah mungil dengan kasih penuh meluluhkan rasa benci seorang Maleficent, hingga kasih pun tumbuh dalam diri Peri Kegelapan itu.
Kisah Maleficent adalah fiksi. Namun permasalahan yang dihadapi oleh Maleficent adalah nyata. Permasalahan umum yang mudah kita jumpai di sekitar kita. Ketika seseorang tersakiti dan tak mampu memaafkan, dia dengan mudahnya melampiaskan rasa benci itu pada orang lain. Pengalaman pahit yang dialami seseorang bisa membekas sangat dalam di hati dan memengaruhi dalam bersikap.
Bagaimana dengan kita? Pernahkah kita tersakiti atau dikecewakan orang lain? Sikap seperti apa yang kita pilih? Menyimpan dan melampiaskannya atau melepaskannya? Mari kita belajar lagi, bagaimana Esau yang dikhianati oleh Yakub, dengan mengambil hak kesulungannya. Esau mampu memaafkan saudaranya, memeluk, dan menciumnya (Kej. 33:4). Kita juga bisa belajar dari Yusuf yang disakiti oleh saudara-saudaranya yang menjualnya kepada orang Midian dan kemudian dibawa ke Mesir. Namun, Yusuf mampu memaafkan, bahkan pada akhirnya menjadi penyelamat bagi saudara-saudaranya.
Bagaimana kita bisa mengolah rasa sakit hati, memaafkan, dan kemudian melepas- kannya? Tuhan mengingatkan setiap kita dalam 1 Korintus 13:4-5 “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.”
Ayat itu secara tegas mengajarkan kepada kita bagaimana menerapkan kasih, seperti yang Tuhan ajarkan dalam relasi kita kepada sesama. Yesus juga mengajarkan kepada kita untuk tidak mengingat-ingat apa yang telah orang lain lakukan kepada kita di masa lalu dan kemudian membalasnya dengan setimpal. Sebaliknya, kita harus memikirkan bagaimana kita ingin diperlakukan dan kemudian bisa memperlakukan orang lain seperti itu.
Kisah Maleficent juga memberi kita pelajaran untuk melihat permasalahan dari sudut pandang lain, bahwa “maleficent-maleficent” yang hadir di kehidupan kita adalah orang- orang yang sepatutnya kita kasihani. Kita perlu berempati dan menaruh perhatian kepada orang-orang itu. Mereka mungkin “tersesat” namun tidak tahu arah kembali sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menolong mereka.
Sebagai murid Kristus, sudah selayaknya kita menjadi sumber kasih bagi “maleficent- maleficent” yang hadir dalan kehidupan kita. Seperti Aurora yang sanggup meluluhlantakkan kebencian dan menghadirkan kasih tulus kepada Sang Peri Kegelapan. Hendaknya kita juga bisa menjadi Aurora yang sanggup mengubah benci menjadi kasih.
Sebagai pengikut Kristus kita diajarkan untuk saling mengasihi, bukan hanya dengan perkataan melainkan dengan perbuatan dan kebenaran. Mampukah kita mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri? Saat kita bisa melakukan hal itu berarti kita memandang orang lain sebagaimana kita ingin dipandang, Yesus berkata, “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39).
Marilah kita hadir dengan kasih penuh kepada sesama, agar kasih Tuhan terpancar dan boleh dirasakan melalui kehadiran kita. (DKW)