Menumbuhkan dan mewarisi benih kedamaian Kristus
MENUMBUHKAN DAN MEWARISI BENIH KEDAMAIAN KRISTUS
Yesaya 11:6-10
Damai…. Kedamaian mampukah terpancar di negeri Indonesia? Sungguh miris dan prihatin dengan beberapa peristiwa dan situasi yang terjadi akhir-akhir ini di negri tercinta.
Istilah Ibrani untuk damai sejahtera ialah shalom, kata ini bukan sekadar menunjuk kepada ketiadaan perang dan pertentangan. Makna dasar shalom ialah keserasian, keutuhan, kebaikan, kesejahteraan, dan keberhasilan di segala bidang kehidupan.
Andar Ismail dalam buku “Selamat Natal” menulis sebuah puisi yang amat menarik. Judulnya: “Sssstt Selamat Tidur!” Dalam salah satu baitnya dikatakan:
Malam natal lagi
Malam damai di bumi
Itulah juga kata sang letnan di dataran Golan
Damai di Bumi ditulisnya
kepada keluarga dan taulan
Besoknya ia membom lagi.
Betapa benarnya kata-kata itu. Cobalah kita perhatikan dan renungkan, begitu banyak lagu natal bertemakan damai yang kita kumandangkan. Damai sejahtera turun ke bumi, demikian kata-kata dalam KJ 100! Tetapi mana damai sejahtera itu? Bukankah banyak panitia natal yang saat rapat sering ribut dulu? Bukankah banyak keluarga, yang ketika berangkat mau merayakan natal ribut dahulu, dan saling mendiamkan selama ibadah natal berlangsung? Mana damai sejahtera itu? Adakah damai sejahtera itu? Bukankah damai cuma kata-kata, cuma ucapan seperti seorang Letnan dari Golan dalam puisi tadi?
Konon ketika terjadi perang dunia, tentara Amerika sedang berhadapan dengan tentara Jerman. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter saja. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara orang yang menyanyikan irama lagu “Malam Kudus.” Para prajurit ingat, ini tanggal 24 Desember. Lalu prajurit-prajurit itu ikut bernyanyi. Mereka saling berangkulan menyanyikan “Silent night… stille nacht.” Mereka saling bertukar makanan, kado, dll. Besoknya, tanggal 25 Desember, sukacita masih berlanjut, mereka sempat bermain bola bersama. Tanggal 26 Desember, perintah menyerang terdengar. Mereka masuk lagi ke parit dan saling menembak!
Ya, inilah sebuah paradoks natal. Ketika damai sejahtera dikumandangkan, justru hidup kita jauh dari damai. Oleh karena itu, natal tidak mengubah apapun. Yang bermusuhan, tetap bermusuhan, yang bertikai tetap bertikai. Bagaimana mungkin itu terjadi? Padahal natal memberitakan damai sejahtera yang sebenarnya telah turun ke bumi ini? Keluar kata salam damai dari mulut kita, tapi di hati ini masih tersimpan kebencian. Tangan bersalaman, tapi mata bertatapan penuh kebencian.
Yang menjadi pertanyaan buat kita adalah bukankah nubuat Yesaya kita percaya telah digenapi dalam diri Yesus Kristus, tetapi mengapa kedamaian seolah amat langka kita jumpai sampai saat ini? Padahal wujud kedamaian yang dinubuatkan dalam kitab Yesaya, amat luar biasa. Bayangkan, serigala dan domba, macan dan kambing, singa dan lembu – kalau mau ditambahkan, kucing dan anjing, tikus dan kucing, semua makhluk yang hidup (termasuk manusia) yang hidup dalam kebencian dan permusuhan kini dapat hidup dalam kebersamaan dan kedamaian. Begitu luar biasa damai yang digambarkan nabi Yesaya. Tapi kalau mau jujur, kedamaian yang sedemikian nyaris bahkan sulit sekali terjadi. Lihatlah Israel dan Palestina dua negara yang terus berseteru tidak pernah ada habisnya, dari zaman Alkitab (Israel dan Filistin), sampai hari ini.
Lalu pertanyaannya adalah kapankah nubuat itu terjadi? Bukankah tunas itu telah terwujud lewat kedatangan Yesus ke dunia ini? Tetapi mengapa kedamaian seakan tidak pernah terjadi? Apakah Yesus telah gagal dalam misinya? Atau adakah tunas lain yang perlu kita harap-harapkan? Perlukah kita menanti-nantikan Sang Damai yang lain?
Pertama, secara iman kita amat percaya, bahwa nubuat ini memang digenapi dalam diri Yesus Kristus. Namun, yang Yesus taburkan itu damai dalam arti perubahan yang segera dan cepat. Yang Yesus ajarkan adalah bagaimana menciptakan damai. Ada seorang ibu yang bermimpi bertemu dengan seorang yang mirip Yesus sedang jualan. Tentu saja ibu amat kaget. Karena itu ia bertanya: “Apakah Engkau Yesus?” “Ya, aku adalah Yesus.” “Lho sedang apa Yesus di tempat ini?” “Aku sedang jualan.” “Jualan? Jualan apa?” “Jualan apa saja yang kamu mau beli.” Dengan segera ibu mengatakan: “Yesus kalau begitu, aku mau beli kedamaian, kasih, sukacita….” Yesus memotong: “Stop ibu, aku tidak menjual buahnya, aku menjual benihnya.”
Yesus tidak menjual buah kedamaian. Yang Ia jual, yang Ia ajarkan, yang Ia bagikan adalah benih-benih kedamaian. Tidak kebetulan kalau kata yang dipilih adalah ‘tunas.’ Tunas adalah benih yang mulai tumbuh. Benih itu kecil, ringkih, seperti bayi Yesus. Benih damai itu yang ditaburkan ketika Ia berkarya di dunia ini. Yang mencapai puncaknya di atas salib itu Ia berteriak getir dan lirih: “Ya Bapa, ampunilah mereka….” Sebagai tanda kasih-Nya pada manusia. Bukankah itu dasar kedamaian? Tidak mungkin ada damai jika tidak ada kasih! Ya… Dan Natal adalah peristiwa kasih. Ketika kita merayakan natal, peristiwa kasih itulah yang mestinya diberitakan pada dunia ini.
Kedua, yang Yesus ubah adalah hati. Para gembala yang berjumpa dengan Tuhan Yesus, tetap saja menjadi gembala. Tetap saja berpakaian kumuh, tetap saja harus berpanas-panas ria. Perjumpaan dengan Yesus tidak otomatis mengubah baju para gembala. Padang pasir jadi ber-AC. Mengapa? Karena bukankah segala sesuatu, termasuk damai itu berangkat dari hati? Hati para gembala itulah yang Tuhan ubah hingga penuh sukacita.
Kedamaian oleh karena kasih, sebagaimana yang Yesus ajarkan memang amat tidak lazim di dunia saat ini. Dunia lebih mengenal dan melakukan prinsip: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Nyolong: gebukin. Teror: hancurkan. Nilai dunia inilah yang lebih kita sukai. Sungguh situasi yang sangat miris dan pedih. Situasi di mana keadilan dan kedamaian kasih tak menyentuh namun justru kepentingan diri, kuasa dan arogansi yang nampak. Jika ingin ada damai di dunia, jangan gunakan kekerasan. Pedang tidak mungkin dapat dilawan dengan pedang, itu benih yang ditaburkan Tuhan Yesus. Omelan tidak dapat diatasi dengan pukulan. Teror tidak mungkin dilawan dengan teror. Sayang tidak semua orang Kristen memelihara benih damai itu dan menumbuhkan dalam hatinya. Yang menyedihkan bahkan kekerasan pun menjadi biasa dalam diri orang-orang Kristen. Kalau demikian yang terjadi, tentu tidak pernah mungkin serigala-domba, singa-kambing, kucing-anjing diam bersama dengan rukun. Bagaimana mungkin dunia ini damai, kalau di sini, di tempat yang katanya Tuhan lahir dan bertahta, kedamaian itu tidak ada? Kalau hati kita yang telah menerima Sang Damai saja penuh dengan kebencian dan angkara murka, bagaimana mungkin ada damai di dunia ini? Benih damai itu pertama-tama ditanam dalam persekutuan dengan diri kita sendiri, dalam keluarga kita, dan siramilah, tumbuhkanlah. Niscaya kehidupan akan berubah karena kehadiran Sang Damai. Percayalah, benih Sang Damai ada dalam hati kita. Selamat berproses menjadi pembawa damai sejahtera. (SSU)