Menyikapi akhir Zaman
Akhir zaman atau hari kiamat merupakan sebuah isu yang cukup ramai diperbincangkan baik dalam kalangan orang Kristen maupun non-kristen. Berkaitan dengan hal ini tentu kita masih ingat peristiwa yang terjadi di Baleendah, Kabupaten Bandung pada pertengahan November 2003. Di mana pada saat itu seorang pendeta dengan beraninya mengatakan bahwa akhir zaman akan segera terjadi dan menentukan hari dan tanggal Tuhan Yesus datang yang kedua kali atau yang populer dengan kiamat. Keberanian pendeta tersebut membuat jemaat yang dilayaninya menjadi tidak tertib hidupnya. Segala harta mereka dimusnahkan. Mereka tidak mau bekerja lagi selain berkumpul di suatu tempat menanti-nantikan kedatangan Tuhan Yesus. Alhasil sampai pada tanggal dan hari yang dimaksud sang pendeta tersebut tiba, Yesus tidak datang juga.
Dalam Markus 13:27 dikatakan bahwa Anak Manusia akan datang dan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya. Anak Manusia itu bukan hanya mengumpulkan kemudian pergi. Atau Anak Manusia itu mengumpulkan dan kemudian membawa pergi yang dikumpulkan-Nya. Melainkan Anak Manusia itu tinggal diam bersama dengan yang dikumpulkan-Nya.
Sang Anak Manusia yang akan datang kembali pada akhir zaman, bukanlah sesuatu yang membuat kita takut. Kita tidak perlu jatuh pada sikap ekstrem mempersiapkan akhir zaman dengan membangun bunker anti kiamat atau berkumpul memisahkan diri dengan melakukan pujian, penyembahan, berdoa, berpuasa terus menerus tanpa melakukan aktivitas lain. Pun adalah salah bila kita jatuh pada ekstrem sebaliknya yang meyakini akhir zaman tidak ada.
Akhir zaman adalah keniscayaan. Cepat atau lambat pasti terjadi. Jadi bagaimana seharusnya kita menantikan Kristus pada akhir zaman nanti? Haruskah kita gentar? Atau dengan jumawa mengatakan bahwa kita tidak takut jika akhir zaman terjadi? Ataukah kita meyakini bahwa akhir zaman tidak akan terjadi? Atau kalau tokh terjadi, pasti tidak terjadi ketika kita masih hidup di dunia ini?
Dalam bacaan pertama, Yaitu Yesaya 64:1-9, di sana diceritakan betapa gemetarnya manusia jika Allah turun ke bumi. Langit terkoyak, gunung-gunung goyang, api membakar apa yang ada, semua bangsa gemetar ketakutan. Hal itu terjadi karena manusia terus memberontak kepada Allah.
Akan tetapi, orang yang menantikan akhir zaman dengan menyerahkan hidupnya di dalam Kristus akan menjadi kaya dalam segala hal. Bukan berarti orang yang menyerahkan hidupnya seluruhnya di dalam Kristus tidak akan mengalami kesesakan dan persoalan hidup, akan tetapi ada janji penyertaan Allah yang selalu menyertainya sampai akhir zaman.
Orang yang hidup di dalam Kristus akan diberkati untuk terus menjadi berkat bagi sesama, dalam penantiannya menyambut akhir zaman. 1 Korintus 1:4-5 berkata: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas anugerah Allah yang diberikan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal; Dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan”.
Lantas bagaimanakah caranya supaya kita hidup di dalam Tuhan? Paulus dalam surat pertamanya untuk jemaat Korintus menjelaskan bahwa bukan kita yang berinisiatif mengupayakan agar terjadi hidup di dalam Kristus. Allah sendiri sejak semula telah memanggil kita untuk hidup dalam persekutuan yang akrab bersama anak-Nya (1Kor. 1:9). Persoalannya adalah apakah kita kemudian mau menerima panggilah Allah tersebut dan hidup di dalam Kristus?
Maka, apabila kita merespons panggilan Allah untuk menyerahkan hidup ini seluruhnya pada Kristus, pantaslah kita berani berkata seperti yang dinyanyikan dalam liturgi pada masa adven ini: “Maranatha” yang artinya: “Tuhan, datanglah segera!” (GSI-Diedit dari Dian Penuntun Edisi 36)