Model 70:20:10
Salah satu metode pengembangan individu yang masih popular diterapkan hingga saat ini adalah yang dicetuskan oleh Michael Lombardo and Robert Eichinger, yakni “Model 70:20:10”. Menurut Lombardo dan Echinger, cara paling efektif untuk menumbuhkan keahlian/kecakapan/kemampuan dalam diri seseorang 70% didapatkan dari experiential learning (pengalaman langsung), 20% dari social learning (komunikasi dua arah dan memberikan umpan balik secara berkala), dan 10% dari formal/structured learning (pengajaran, pelatihan, membaca buku, dan sebagainya yang sifatnya mendapatkan pengetahuan). Model ini memang lebih familiar di dunia kerja, tetapi prinsipnya dapat diimplementasikan dalam berbagai konteks yang lebih luas.
Contoh ketika sekolah, untuk memahami suatu hal, kita diajar oleh guru. Namun, jika hanya menyimak penjelasan dari guru saja, biasanya dalam waktu singkat kita sudah lupa apa yang diajarkan. Karena itu guru memberikan pekerjaan rumah, tujuannya membantu murid meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap topik tersebut. Kemudian secara berkala murid menerima rapor dari sekolah, di mana saat pengambilan rapor, terjadi penyampaian umpan balik dari guru kepada orang tua/wali, yang kemudian diteruskan kepada murid, sehingga murid tahu apa yang sudah baik dari dirinya dan apa yang masih perlu dikembangkan selanjutnya. Kondisi di atas sama halnya dengan prinsip 70:20:10, di mana porsi pembelajaran paling besar terjadi dengan memberikan pengalaman langsung melalui penugasan, dan didukung dengan adanya proses diskusi/komunikasi dua arah untuk menyampaikan umpan balik dan men- diskusikan kendala yang dihadapi murid untuk kemudian mencari jalan keluar/ perbaikan yang sesuai.
Prinsip 70:20:10 juga berlaku dalam mengembangkan spiritual kita. Memelajari Firman Tuhan adalah penting dan modal dasar dalam membangun landasan hidup kita, sehingga kita dapat membedakan apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:2). Namun, tidak cukup hanya mendengar Firman dan tahu saja, tetapi lebih penting lagi bagaimana mengaplikasikannya dalam hidup keseharian. Seperti kata Yakobus, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya” (Yak. 1:22-24).
Untuk kita mampu mengaplikasikannya ke keseharian, tidak cukup hanya dengan mengikuti kebaktian, persekutuan, membaca buku-buku rohani, mendengar podcast tema kekristenan, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut sifatnya baru menumbuhkan pengetahuan saja, dan baru berdampak 10% dari penguasaan kita akan hal tersebut. Lebih penting lagi adalah menemukan cara-cara untuk mengalami langsung, salah satunya dengan melayani.
Dalam melayani, kita diperhadapkan pada satu situasi untuk mencapai tujuan bersama, yang dalam prosesnya kita bekerja bersama berbagai orang yang berbeda latar belakang pengetahuan, kebiasaan, kemampuan, keterampilan, sifat, cara berpikir, berbicara, bertindak, dan sebagainya. Di sini lah 70% keimanan dan karakter kita terbentuk: bagaimana kita berserah kepada Tuhan atau pasrah, bagaimana kita mendengarkan orang lain atau hanya mendengar saja, bagaimana kita berempati atau hanya bersimpati, bagaimana kita bekerja bersama satu sama lain atau “yang penting tugas bagian saya selesai”, dan lain sebagainya. Dan 20% sisanya kita dapatkan dari umpan balik dari komunitas sesama orang percaya, baik dari orang-orang yang menerima pelayanan kita, rekan kerja sepelayanan, dan lain-lain. Hal ini baik dan diperlukan seperti kata Amsal, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Ams. 27:17).
Tidak hanya dalam kehidupan spiritual pribadi saja, model 70:20:10 juga dapat membantu kita saat ingin membentuk kebiasaan spiritual yang baik bagi anggota keluarga kita, misal secara rutin setiap hari membaca Alkitab dan berdoa. Tidak cukup hanya dengan mengikutkan anak-anak kita di Sekolah Minggu atau kebaktian bersama, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita memberikan pengalaman langsung kepada mereka dan menjadi role-model, juga melakukan komunikasi dua arah (untuk memberikan umpan balik, menggali kendala apa yang dialami, dan memberikan dukungan saat anak mencari jalan keluar/langkah perbaikan yang dibutuhkan).
Mari dengan tekun mengembangkan keimanan kita maupun anggota keluarga kita, bukan hanya dari pengenalan akan Firman Tuhan saja, tetapi lebih penting lagi dalam mengaplikasikannya di keseharian kita. (ODR)