Pengampunan dan perbedaan
Keluaran 14:19-31; Mazmur 114; Roma 14:1-12; Matius 18:21-35
Jemaat Kristen perdana tidaklah leluasa beribadah. Bahkan sebelum masa penindasan dimulai waktu untuk berkumpul bersama untuk beribadah merupakan satu kesempatan yang dinantikan. Waktu yang sengaja mereka persiapkan dengan baik.
Jemaat Kristen perdana selama seratus atau duaratus tahun pertama jarang yang memiliki gedung ibadah sendiri yang permanen. Pada beberapa puluh tahun pertama mereka malah beribadah di rumah ibadah Yahudi (pada hari Sabat, dan hari-hari raya Yahudi) dan di rumah-rumah anggota jemaat yang cukup berada (pada hari Minggu). Gedung-gedung gereja yang berupa gedung pertemuan umum (basilica) baru mulai ditemukan sejak abad ketiga, dan pada abad keempat mulailah gereja memiliki gedung-gedungnya yang semakin megah.
Bagi jemaat Kristen perdana, baik yang dijumpai rasul Paulus dalam perjalanan penginjilan dan pelawatannya, maupun hingga duaratus tahun pertama, semua orang adalah saudara dan saudari. Menjadi pengikut Kristus berarti mati dan hidup bersama Kristus. Hubungan dan ikatan lama ditanggalkan, dan kita memperoleh persaudaraan yang baru. Oleh karena itu bacaan surat Roma dan Injil Matius tidak sedang membicarakan urusan persaudaraan di dalam keluarga melalui ikatan darah, melainkan persaudaraan di dalam arti yang lebih luas.
Itulah persaudaraan yang dibangun di dalam persekutuan dengan Kristus. Inilah persaudaraan yang baru. Persaudaraan yang melintasi ikatan dan hubungan yang lama dan biasa. Persaudaraan yang sangat luas dan dalam. Keluarga-keluarga Kristen mendapat arti yang baru dalam hal ini. Keluarga-keluarga Kristen bukanlah sekadar hubungan kekerabatan karena nama keluarga besar, hubungan ikatan darah dan kesukuan. Sikap terhadap saudara di dalam nasihat Paulus dan Yesus menurut Matius, adalah sikap hidup di tengah keluarga terdekat, dan sekaligus bersama saudara-saudari di dalam Kristus.
Kita masing-masing memiliki pengalaman yang kurang-lebih sama sebagai anak-anak di tengah keluarga. Baik itu keluarga yang bahagia, yang kadang-kadang bahagia, maupun yang kurang bahagia. Baik itu keluarga yang sangat akrab dan selalu bersama-sama, maupun keluarga yang terbiasa berjalan sendiri-sendiri. Kita mengingat bahwa sebagai seorang anak cepat atau lambat kitapun mulai membanding-bandingkan keluarga kita sendiri dengan keluarga teman atau orang yang dekat dengan kita. Kemampuan membanding-bandingkan itu pada saat yang sama adalah berkat dan kutuk bagi kita.
Ia menjadi berkat ketika kita sanggup bersyukur atas anugerah Tuhan untuk keluarga kita setiap hari. Kita bersyukur bukan hanya ketika kita mengalami hal-hal yang enak dan menyenangkan di tengah keluarga, melainkan juga karena kita sanggup percaya bahwa Tuhan selalu hadir dan menolong keluarga kita dalam keadaan apapun. Kesadaran seperti ini pada seorang anak dan remaja adalah berkat.
Namun kemampuan membanding-bandingkan tersebut dapat menjadi kutuk bila kita menganggap Tuhan tidak adil kepada kita. Mengapa keluarga kami yang lebih kaya daripada keluarga teman, tapi mereka bisa lebih akrab satu sama lain? Mengapa keluarga kami yang lengkap ayah dan ibu, tetapi … A, dan B… dan seterusnya? Kesadaran over-critical, kesadaran kritis yang berlebihan seperti ini pada seorang anak dan remaja dapat menjadi beban yang berat dalam keluarga. Sulit sekali untuk bersyukur bila di depan mata, dan di dalam pikiran hanya ada daftar kekurangan saja.
Keadaan ini tidak hanya berlaku bagi anak dan remaja di tengah keluarga.Seorang suami atau istri, seorang ayah atau seorang ibu, dapat juga menjadi over-critical. Tidak dapat mengampuni adalah salah satu gejalanya saja, sehingga tidak heran penginjil Matius yang menemukan gejala yang sama di tengah persaudaraan Kristiani, mengenangung kapan Yesus mengenai pengampunan tujuh puluh kali tujuh. Pengampunan merupakan hal yang sangat sulit bagi mereka yang tidak sanggup menemukan secercah harapan di luar dirinya.Tujuh puluh kali tujuh adalah ungkapan mengenai kesempurnaan.Kelemahan orang lain – di matakita yang over-critical hanya bisa diselesaikan dengan pengampunan yang sempurna. Pengampunan yang sempurna, pertama-tama adalah berani mengampuni dan berdamai dengan diri sendiri, sehingga dapat menerima kelemahan orang lain, dan dapat menerima orang lain apaadanya.
Sebagai sejarawan saya dapat bercerita sangat panjang lebar bagaimana persoalan pengampunan dan ritual / upacara agama mengenai pengampunan adalah salah satu unsure penting pembentuk Kekristenan. Namun untuk saat ini saya kira cukuplah sedikit cerita saja dari tahap awal perkembangan Kekristenan sebagaimana yang disaksikan oleh tulisan Paulus dan Matius di dalam Alkitab.
Kehidupan orang-orang Kristen perdana tidak menjadi lebih mudah ketika mereka menjadi Kristen, namun jumlah mereka bertumbuh dari waktu ke waktu. Bahkan juga ketika masa penindasan mulai terjadi pada abad kedua – pada zaman ketika semua rasul dan murid pertama Kristus sudah wafat.Apa yang membuat mereka bisa bertahan? Mereka melewati saat-saat tersulit karena mereka mampu memahami dan menerima saudara dan saudarinya. Dalam injil Matius ditegaskan – melalui ucapan Yesus, mengenai kemampuan mengampuni secara sempurna. Ampuni dirimu sendiri, agar sanggup mengampuni saudaramu!
Maka dalam surat Roma semangat yang sama tetap berlaku, yaitu menerima kelemahan saudara-saudari kita. Dalam bahasa orang-orang politik hari-hari ini, kita perlu mengakomodasi orang lain. Saya coba membahasakan ulang apa yang dimaksud sang rasul: setiap orang Kristen memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hal-hal mana yang penting dan yang kurang penting. Namun di mata Allah semua orang sama pentingnya, bukan karena apa yang dipercayai dan diperbuat, melainkan karena kita adalah milik Tuhan. Bila saja kita sanggup melihat tidak ada di antara kita yang lebih baik dan lebih penting satu sama lain di hadapanTuhan, maka kita tidak perlu saling menghakimi dan menyalahkan cara percaya dan perbuatan satu sama lain.
Bila Tuhanlah yang menciptakan, bahkan membiarkan perbedaan-perbedaan tersebut ada, maka siapakah kita ini yang mengecam orang karena perbedaan tersebut? Kita semua menjadi berbeda-beda bukan untuk saling menyalahkan dan menyerang. Tuhan menciptakan perbedaan tersebut agar kita dapat saling belajar hidup bersama di dalam persaudaraan sebagai saudara dan saudari di dalam Kristus.Pengalaman pertama untuk belajar hidup di dalam perbedaan bisa dimulai dari tengah keluarga. Namun bila pengalaman di tengah keluarga justru mengajarkan pada kita untuk tidak menghargai perbedaan, maka keluarga kita yang kedua, yaitu saudara-saudari kita di dalam Kristus, akan menjadi kesempatan kedua bagi kita.
Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan kita untuk
1) Lebih mampu mengampuni agar hidup persaudaraan kita menjadi semakin sempurna,
2) Lebih mampu menerima perbedaan agar persaudaraan kita menjadi semakin memperkaya hidup kita. (YSU)