Penyertaan Allah dalam Labirin Ketidakpastian
Banyak orang menggantungkan keputusannya pada prakiraan cuaca yang akurat. Hal ini karena prediksi cuaca bisa dipakai merencanakan dan membuat keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyesuaikan rencana dan mempersiapkan diri dalam melaksanakan agenda pekerjaan. Seperti industry transportasi udara, air traffic di bandara dan pilot sangat bergantung pada prakiraan cuaca yang akurat demi memastikan penerbangan yang aman dan efisien. Pertanian misalnya, petani mengandalkan prediksi cuaca yang tepat demi menentukan waktu terbaik untuk menanam dan memanen hasil panen.
Dalam kehidupan kita sehari-hari prediksi cuaca hidup kita tidak selalu akan cerah, berangin, berawan, atau bahkan turun hujan badai. Tidak seorang pun bisa menjawabnya, sebab tak seorang pun yang tahu kan hari esok. Namun, yang pasti menyimpan beragam potensi realitas yang bisa kita hadapi.
Tentu kita masih ingat akan pandemi yang menyelimuti kita belum lama ini. Satu per satu kabar buruk memasuki ruang pikir kita di masa itu. Kini, setelah wabah itu mereda, ternyata masih ada pukulan bertubi dari efek pandemi yang menyesakkan. Setidaknya ada dua hal yang dapat kita sadari dalam situasi “kurang memuaskan” atau “penderitaan”. Pertama, penderitaan bisa menjadi sarana belajar bagi orang percaya untuk semakin mengenal Allah. Kedua, meski diselimuti penderitaan, kita tahu bahwa Tuhan memegang kendali segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Nya yang gagal.
Penderitaan dapat menjadi sarana belajar orang percaya semakin mengenal Allah. Melalui penderitaanlah Ayub justru mengenal Allah. Sebelumnya, ia hanya tahu tentang Allah, tapi melalui kesulitan hidup, Ayub justru dapat mengenal-Nya secara pribadi. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau,” (Ayub. 42:5). Di dalam penderitaan, ketika hati kita tetap melekat kepada-Nya maka Allah akan membuka pintu pengenalan akan Dia. Penderitaan yang kita alami bukanlah kesempatan untuk bersungut-sungut atau merajuk kepada Tuhan, tapi justru menjadi peluang bagi kita semakin merendahkan hati dan menaati Tuhan. Ayub, Musa, Yusuf, dan banyak tokoh iman lain juga telah menunjukkan bahwa melalui penderitaan mereka belajar mengenal Allah.
Penderitaan menyimpan kesempatan bagi manusia yang mengalaminya belajar sesuatu atau banyak hal baru, yang meniscayakannya semakin mengakui kebesaran hikmat dan pikiran Allah. Seperti kata Paulus, “Alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya” (Rom. 11:33). Di saat yang sama, meski diselimuti penderitaan, kita tahu bahwa Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Nya yang gagal. Memang hidup kita tidak selalu terbebas dari kesulitan dan penderitaan, namun di tengah-tengah segala tantangan, kita dapat bertahan karena Allah tidak gagal menopang kita dan menjalankan rencana-Nya atas hidup kita. Seperti yang Paulus katakan, “Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Fil. 1:6).
Cuaca hidup kita selalu akan cerah, berangin, berawan, atau bahkan turun hujan badai, mungkin tidak mudah untuk tidak khawatir, sabda Tuhan mengajak kita untuk belajar menyerahkan segala kekhawatiran kepada Dia yang memelihara kita (1Ptr. 5:7). Bahkan, Guru Agung kita, Yesus, berkata, “Janganlah khawatir akan hidupmu” (Mat. 6:25).
Mari kita merenungkan kebaikan dan karakter Allah di dalam setiap tantangan hidup. Ada pintu-pintu yang terbuka bagi kita untuk berlaku bajik pada orang-orang di sekitar, terutama terhadap mereka yang kita sayangi. (AHU)