Perumpamaan anak yang hilang
Perumpamaan Anak Yang Hilang
Lukas 15 : 11 – 32
Menarik membaca komentar para pembaca terhadap berita kematian Ram Singh yang dimuat pada sebuah media on line di awal tahun 2013. Ram Singh adalah salah seorang tersangka pelaku utama pemerkosaan masal dan brutal terhadap seorang mahasiswi kedokteran di India yang berujung pada kematian si korban. Ram Sing kemudian ditemukan tewas dalam sel tahanan. Berita resmi kepolisian menyebutkan bahwa Ram Singh tewas akibat gantung diri (bunuh diri). Tidak ada ungkapan simpati atas kematian Ram Singh. Hampir seluruh komentar bernada negatif. Sebagian menyayangkan kematian Ram Singh. Bagi mereka mati terlalu “lunak”dan seharusnya Ram Singh menerima siksaan untuk perbuatannya. Sebagian lagi mensyukuri kematian Ram Singh dan berkata bahwa Ram Singh memang tidak layak hidup.
Yang menarik diantara komentar negatif dan sumpah serapah, ada sebuah komentar yang berbeda yang berbunyi “Manusia sulit untuk memaafkan…….hanya Tuhan yang sanggup mengampuni”. Komentar tersebut mungkin ditulis sebagai respon atas komentar-komentar lainnya yang berisi kutukan dan makian untuk Ram Singh, atau memang si penulis itu sendiri merasa sulit untuk memaafkan Ram Singh akibat tindakan brutal dan kejinya.
Walau demikian, komentar terakhir tersebut mengingatkan saya kepada perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15 : 11) yang disampaikan Yesus, salah satunya sebagai respon terhadap sikap orang Farisi dan ahli Taurat yang sering bersungut-sungut dan mengkritik sikap Yesus yang bersahabat dengan orang-orang berdosa. Dalam perumpamaan tersebut Yesus menghadirkan tiga tokoh utama yaitu Bapa yang penuh kasih, si Bungsu yang meninggalkan rumah Bapa dan si Sulung yang sulit memaafkan.
Dalam perumpamaan ini, sang Bapa harus berhadapan dengan anak Bungsu yang menuntut hak waris selagi ia masih hidup, meninggalkan rumah untuk pergi ke negeri asing dan menggunakan harta waris untuk berfoya-foya. Keadaan diperparah dengan bencana kelaparan yang mengakibatkan si anak Bungsu jatuh miskin dan harus bekerja sebagai penjaga ternak babi untuk melanjutkan hidupnya. Bahkan dalam kisah perumpamaan tersebut, dalam kondisi sangat lapar, si Bungsu terpaksa harus makan ampas babi.
Tidak tahan dengan penderitaan yang dialaminya, si Bungsu memutuskan untuk kembali ke rumah Bapa dan memohon pengampunan. Sang Bapa menyambut dengan suka cita si Bungsu, berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan menciumnya. Bukan itu saja, sang Bapa kemudian menyembelih anak lembu yang tambun dan mengadakan jamuan makan bersuka cita menyambut kedatangan si Bungsu.
Sikap sang Bapa dalam menyambut kembalinya si Bungsu, memicu kemarahan si Sulung. Si Sulung merasa si Bungsu tidak layak memperoleh sambutan seperti itu. Selain itu si Sulung merasa bahwa si Bapa telah berlaku tidak adil “ Telah bertahun-tahun aku melayani Bapa dan tidak pernah aku melanggar perintah Bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersuka cita dengan sahabat-sahabat ku” (Luk 15:31). Sang Bapa kemudian menjawab “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”. (Luk 15:31). Si Sulung walaupun tinggal serumah dengan Bapa, gagal melihat dan merasakan kasih sayang Bapanya dan menuntut upah/imbalan atas perbuatan-perbuatan baiknya yang ia lakukan.
Walau demikian, kisah perumpamaan anak yang hilang sesungguhnya memuat suatu pesan yang indah bahwa kita memiliki Allah yang penyayang, pengasih, panjang sabar, berlimpah kebaikan dan kaya akan pengampunan. Ia tidak menginginkan segala yang diciptakan-Nya itu hilang. Sejauh mana pun kita pergi meninggalkan-Nya, Ia akan senantiasa menantikan kepulangan kita. Sejauh manapun kita jatuh kedalam dosa, Ia kan tetap menerima kita kembali. Pintu pertobatan terbuka lebar. Itulah kasih setia Tuhan.
Selain itu melalui kisah perumpamaan ini kita juga dingatkan untuk berhenti berlaku seperti si Sulung. Memang dalam beberapa kasus seperti dalam kasus pemerkosaan India, kita sulit untuk memaafkan karena merasa apa yang telah dilakukan oleh Ram Singh Cs, sangat keji dan diluar batas prikemanusiaan. Tetapi dalam kebanyakan kasus lainnya, kita sulit untuk memaafkan karena kita gagal merasakan kasih Tuhan dan berpikir bahwa berkat-berkat yang kita peroleh selama ini merupakan upah dari perbuatan-perbuatan baik kita. Kita menganggap diri telah banyak berjasa bekerja di ladang Tuhan, merasa diri lebih baik dan saleh, serta memiliki hak yang lebih besar dan merasa layak untuk menghakimi/mencaci sesama. Sikap seperti itu tidak menjadikan kita lebih baik dari si Bungsu. Melalui perumpamaan ini kita diajak untuk mau mengampuni, dan ikut serta dalam jamuan suka cita menyambut si Bungsu, karena Tuhan mengasihi kita dan Ia Maharahim.
ITS-dari berbagai sumber