Prinsip penafsiran PB
MENAFSIR PERJANJIAN BARU
Bahan Pembinaan Penelaahan Alkitab I
1. Definisi
Secara tradisional, hermeneutika (ilmu tafsir) didefinisikan sebagai studi tentang lokus dan prinsip-prinsip penafsiran (the study of the locus and principles of interpretation), terutama dalam memahami naskah-naskah purba. Istilah “hermeneutika” berasal dari kata Yunani “hermeneuein,” yang berarti “menafsirkan” atau “menerjemahkan.” Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata, karena itu hermeneutika sering diartikan sebagai “ilmu tafsir.” Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menetapkan prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong kita untuk mengerti atau mengartikan suatu karya atau dokumen, terutama dokumen purba.
Dengan pertolongan prinsip-prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan tersebut dihasilkanlah tafsiran atas suatu karya atau naskah, terutama naskah purba. Penerapan prinsip-prinsip hermeneutis untuk memahami teks-teks purba, termasuk Alkitab, disebut “eksegese” (berasal dari kata Yunani “eks-egesthai” yang berarti “mengeluarkan” atau “menerangkan”). Meskipun dapat dan juga harus diterapkan untuk mengartikan suatu karya profan, namun hermeneutika terutama dikembangkan sehubungan dengan penafsiran atas teks-teks Alkitab. Hermeneutika alkitabiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong kita untuk mengerti pesan dan maksud sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh teks-teks Alkitab.
2. Perlunya penafsiran alkitabiah
Teks-teks Alkitab perlu ditafsirkan, karena pesan sebenarnya dari teks-teks tersebut tidak selalu jelas bagi para pendengar atau pembaca yang tidak lagi hidup sezaman dengan teks-teks tersebut. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa Alkitab bukanlah firman Allah yang secara langsung dan harfiah didiktekan kepada manusia. Memang Alkitab adalah firman Allah, namun sekaligus juga firman manusia. Maksudnya, firman Allah tersebut disampaikan kepada manusia melalui manusia yang hidup dan berada dalam jalinan kontekstualnya yang amat kompleks (meliputi alam berpikir, konteks historis dan politis, gaya sastra, jalinan sosio-kultural, sosio-religius, sosio-politis, sifat personal individu yang diperkenan Allah sebagai penulisnya, dsb.).
Para penulis kitab-kitab dalam Alkitab (yang adalah manusia) menulis karangan-karangannya berdasar alam pikiran, kebudayaan dan konteks historis tertentu, yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan konteks para pembaca atau pendengar pada zaman kemudian dan pada zaman sekarang. Maksud sebenarnya (maksud asli, original intentions) teks-teks Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan ke dalam alam pikiran kita di sini dan saat ini. Jadi, Alkitab membutuhkan penafsiran. Untuk itu perlu adanya sejumlah prinsip dan patokan untuk menafsirkan pesan Alkitab yang sebenarnya. Dengan langkah itu, diharapkan kekeliruan dan kesalahpahaman dapat dicegah dan diminimalisasi. Itulah tujuan hermeneutika.
Di samping itu, teks-teks Alkitab ditulis sekian ratus atau bahkan (bagian-bagian tertua) sekian ribu tahun yang lalu. PL ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram, sedangkan PB dalam bahasa Yunani. Bahasa-bahasa itu bukanlah bahasa kita, bahkan sudah mendjadi bahasa mati, yang tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang masih hidup. Tentu saja, setiap “terjemahan” mengandung unsur “tafsiran.” Dalam setiap bahasa pasti ada “rasa bahasa” yang tidak dapat diterjemahkan, karena itu, setiap terjemahan tentu mengandung kelemahan. Penerjemah hanya (dapat) menerjemahkan apa yang dimengerti dan sejauh yang dapat dimengertinya.
3. Persoalan utama dalam menafsir PB
Tugas utama kita adalah berusaha mengulang sedekat mungkin apa yang dikatakan oleh para penulis PB dan memahaminya. Jadi, perhatian kita terpusat pada usaha untuk mengerti maksud asli yang hendak disampaikan oleh para penulis dalam tulisan-tulisannya. Kita sadari betul bahwa usaha ini terkendala oleh jarak waktu yang cukup jauh antara kita dengan waktu penulisan teks-teks PB, cara pandang kultural yang berbeda dan konteks historis yang berbeda pula. Sedikit banyak, hal-hal itu akan mewarnai subjektivitas pemahaman kita. Dengan rendah hati harus diakui, bahwa merekonstruksi pesan asli yang hendak disampaikan oleh para penulis PB tidak mungkin objektif sepenuhnya. Namun, kita harus berusaha semaksimal mungkin mengesampingkan prasangka-prasangka subjektif kita dan sedapat-dapatnya menempatkan pesan-pesan tersebut dalam jalinan kontekstualnya.
Untuk memahami pesan-pesan PB, catatan kritis Bultmann atas teks-teks PB, khususnya Injil-injil, layak untuk diperhatikan. Sepakat dengan pendapat William Wrede, Rudolf Bultmann mengatakan bahwa Injil-injil lebih merupakan produk iman dan refleksi kehidupan jemaat mula-mula daripada sumber-sumber atau kesaksian-kesaksian otentik tentang kehidupan Yesus di bumi. Dengan demikian Injil-injil lebih bersifat teologis ketimbang historis. Bultmann melihat adanya diskontinuitas antara Yesus menurut PB (terutama Injil-injil) pada satu pihak, dengan gereja, pesan Kristen dan dokumen-dokumen Kristen, pada pihak lain. Menurutnya, dalam teks-teks PB, Yesus digambarkan semata-mata sebagai guru, nabi dan pembawa pesan-pesan etis serta keagamaan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pemahaman Kristen di kemudian hari terhadap diri Yesus, sebagaimana tercermin dalam keputusan konsili Nicea (325) dan Chalcedon (451). Inti pengakuan gereja adalah bahwa dalam diri Yesus Kristus, Allah sejati telah menjadi manusia sejati; bahwa Yesus adalah Anak Allah, ilahi dan manusia; bahwa Ia adalah oknum kedua Trinitas, yang mengenakan tubuh manusia, sehingga Ia sekaligus Allah dan manusia.
Perlu disadari bahwa para penulis kitab-kitab PB pertama-tama tidak bermaksud memaparkan serangkaian pemikiran teologis. Mereka menulis karya-karyanya berkenaan dengan kebutuhan jemaat waktu itu, terutama sehubungan dengan tanggapan iman mereka terhadap sosok Yesus dari Nazaret itu. Memang, jemaat perdana telah memiliki Perjanjian Lama (PL) sebagai Kitab Sucinya, namun, berhadapan dengan fakta Yesus, mereka membutuhkan pegangan dan penjelasan. Untuk memenuhi kebutuhan itulah para penulis kitab-kitab PB menyusun karangannya. Dalam perkembangannya di kemudian hari, kesaksian-kesaksian tentang fakta Yesus itu lambat laun juga mereka terima sebagai bagian penting dari Kitab Suci.
Tidak dapat disangkal bahwa kitab-kitab PB bukan semata-mata hasil refleksi para penulis secara acak. Di balik tulisan-tulisan itu terdapat keyakinan bahwa Allah telah bertindak dalam diri Yesus. Dengan kata lain, seperti dikatakan Morris, di balik tulisan-tulisan PB itu terdapat teologi. Meskipun kitab-kitab PB ditulis dalam suatu waktu tertentu, namun di balik kitab-kitab itu terdapat informasi teologis berkenaan dengan pemahaman dan pengalaman iman para penulis terhadap tindakan Allah dalam diri Yesus.
Memang, kesaksian mengenai sosok Yesus, pemahaman terhadap diri-Nya dan pesan-pesan yang berkenaan dengan pelayanan dan kehidupan-Nya di bumi tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab PB yang kanonik, melainkan juga terdapat dalam banyak tulisan lain sezaman, yang tidak termasuk dalam kanon PB. Namun hal yang hendak kita bicarakan hanyalah pesan-pesan kitab-kitab PB saja. Pembatasan ini sama sekali tidak bermaksud mengabaikan tulisan-tulisan ekstra-kanonik, melainkan karena kitab-kitab PB telah diterima sebagai dokumen alkitabiah oleh umat Kristen dan diakui sebagai pedoman autentik bagi ajaran Kristen. Kita tahu bahwa tidak satu pun kitab-kitab PB terlahir dengan predikat ‘kanonik,’ karena proses kanonisasi baru berlangsung selama abad kedua hingga keempat Masehi. Namun demikian, kanonisasi tetap penting, karena, seperti dikatakan James Dunn, hal itu memberi batasan atas keragaman yang dapat diterima. Di samping itu, gereja tentu membutuhkan pedoman autoritatif.
Benar bahwa Yesus adalah sosok tunggal yang mendominasi pewartaan PB dan semua aspek pengajaran PB berkisar pada diri-Nya. Namun demikian, tidak berarti bahwa sudut pandang, pemahaman dan tekanan penulis atas aspek-aspek tersebut sama. Bahkan disadari sepenuhnya bahwa perspektif para penulis teks-teks PB terhadap pribadi Yesus sendiri pun beragam. Jika dalam tulisan-tulisan PB terawal tekanannya terletak pada pengajaran Yesus tentang kedatangan Kerajaan Allah, maka dalam pengajaran gereja perdana yang tercermin dalam teks-teks PB yang lebih kemudian tekanannya bergeser pada kematian dan kebangkitan Yesus. Surat-surat dalam PB tidak semata-mata meneruskan perkataan Yesus, melainkan berusaha memaknai lebih lanjut kematian dan kebangkitan Yesus. Jemaat perdana memandang kedua peristiwa tersebut sebagai pusat karya penyelamatan Allah yang besar. Jika Injil-injil berusaha melaporkan kehidupan dan pelayanan Yesus di bumi, yang berpuncak pada kematian dan penyaliban-Nya, maka tulisan-tulisan PB yang lebih kemudian berusaha merefleksi makna dua peristiwa itu dan menjadikannya dasar kekristenan. Dengan kata lain, sekalipun dengan beragam cara, kitab-kitab PB berusaha menunjukkan kepada para pembacanya tentang karya penyelamatan Allah yang besar, yang berpusat pada salib Yesus. Karya Allah itu sekaligus menempatkan para pembacanya pada keharusan untuk mengambil keputusan: meninggalkan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru.
Hal lain yang perlu dicatat, keragaman makna tidak hanya kita temukan secara internal dalam pewartaan dan pesan-pesan kitab-kitab PB, melainkan secara eksternal juga kita temukan dalam interpretasi para penafsir dari masa ke masa atas pewartaan dan pesan-pesan itu. Kenyataan ini mengandung kelemahan sekaligus kekuatan. Kelemahannya, keragaman tersebut dapat menghasilkan spektrum penafsiran dan gagasan teologis yang tak terbatas jumlahnya, sehingga ‘warna’ kekristenan pun bermacam-macam. Namun kelemahan ini sekaligus juga menjadi kekuatan, sebab di sana kita boleh menatap kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah yang tak dapat dibatasi dan diselami sepenuhnya oleh nalar manusia. Sekalipun kita tak berhak membatasi pemahaman dan penafsiran seseorang, namun pewartaan dan pesan-pesan kitab-kitab PB akan ‘membatasi dirinya sendiri,’ jika dengan seksama kita berusaha merekonstruksi teks-teks PB sedemikian rupa dengan jalan menem-patkannya dalam jalinan kontekstualnya. Itulah sebabnya, sekalipun sekilas, pembahasan atas tiap-tiap teks PB akan didahului dengan sedikit tinjauan mengenai latar belakang penulisan serta kondisi dan situasi yang melingkupinya.
Ketika membaca PB, dengan segera kita menyadari bahwa teks-teks di dalamnya berupa pewartaan; ada pesan-pesan yang hendak disampaikan atau diberitakan. PB menceritakan peristiwa-peristiwa, gagasan-gagasan dan pribadi-pribadi di sekitar Yesus dari Nazaret, seorang Yahudi yang berbahasa Aram, dan hidup di Palestina kuno. Namun, pada saat itu, Palestina merupakan bagian dari kekaisaran Romawi; karena itu, naskah PB juga mencerminkan lingkungan historis, kultural dan religius yang lebih luas ketimbang konteks Palestina semata-mata. PB sendiri ditulis dalam bahasa Yunani dan dapat dikatakan bahwa kekristenan lahir di ribaan dunia Hellenistis. PB adalah produk dunia Hellenistis, dunia yang muncul sebagai akibat penaklukan oleh Aleksander Agung pada 356-323 sM. Dalam memahami berita PB, konteks historis, kultural dan religius tersebut tidak dapat diabaikan.
Pusat pemberitaan PB adalah Yesus Kristus. Namun pemberitaan tentang diri-Nya sangat bervariasi. PB sekaligus merupakan kitab dan kumpulan kitab-kitab. PB berisi bermacam-macam kitab, yang ditulis dengan gaya dan panjang yang berbeda-beda, dengan penulis yang berbeda-beda pula. Bahkan jika diteliti dengan seksama, teks-teks itu ditulis dari tempat yang berbeda-beda, waktu yang berbeda-beda dengan isi dan bentuk yang sangat bervariasi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah bahwa semua tulisan PB merupakan literatur religius, yang berisi pemberitaan, nasihat, mitos dan sejarah.
Sebagai sebuah kitab yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus, kita dapat mengatakan bahwa PB adalah satu kesatuan, namun sebagai kumpulan tulisan, harus pula kita akui bahwa di dalamnya terdapat keragaman bentuk sastra, gaya penulisan dan pandangan teologis. Itulah sebabnya, James D.G. Dunn melukiskan bahwa dalam pemberitaan PB terdapat “satu Yesus dengan banyak Kristus.”
Sekalipun kitab-kitab PB mencerminkan beragam pengertian mengenai hakikat iman Kristen, namun semua mempergumulkan satu masalah yang sama, yaitu iman kepada Yesus Kristus, atau tepatnya, iman kepada Allah yang bertindak dan menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Semua penulis PB berusaha menghubungkan dan memaknai kehidupan di dunia ini berdasar imannya terhadap Yesus Kristus. Sikap tanggap terhadap satu fakta yang sama, fakta Kristus, diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, yang satu sama lain tidak harus bertentangan, tetapi saling melengkapi. Karena itu dapat dikatakan bahwa PB menampilkan seluruh spektrum pemaknaan terhadap kekristenan di dunia ini.
4. Prinsip-prinsip pokok penafsiran
Setelah Reformasi, hermeneutika Protestan terutama menekankan aturan yang harus ditaati dalam melakukan eksegesis. Karena Alkitab diidentifikasi sebagai Firman Allah, maka masalah hermeneutis terutama berpusat pada studi atas masing-masing dokumen alkitabiah, baik konteks literalnya maupun situasi yang lebih luas ketika dokumen-dokumen itu ditulis. Pendekatan hermeneutis ini berkembang terutama setelah munculnya ahli-ahli kritik alkitabiah pada abad XIX. Untuk memahami pesan Kitab Suci diperlukan studi atas:
(a) struktur dan ungkapan-ungkapan (idiom) bahasa alkitabiah
(b) tipe sastra yang ditampilkan: prosa, puisi, sejarah atau allegori, harfiah lugas atau simbolik, dan bentuk sastra khas seperti sastra apokaliptis
(c) latar belakang sejarah
(d) kondisi geografis
(e) konteks kehidupannya (life setting, Sitz im Leben), baik sosio-religius, sosio-kultural, mapun sosio-politisnya.
Alkitab sebagai karya manusiawi boleh dan harus ditafsirkan serta diartikan sesuai dengan prinsip-prinsip dan patokan-patokan umum untuk menafsirkan atau memahami suatu karya sastra dari zaman purba. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
- Teks yang ditafsirkan sedapat mungkin adalah teks asli, yang ditulis oleh penga-rangnya. Kalaupun menggunakan terjemahan, sebaiknya terjemahan tersebut dipersandingkan dengan teks aslinya, terutama jika menghadapi makna yang meragukan. Seperti telah dikatakan, terjemahan tidak mungkin sempurna dan sanggup meliput seluruh gagasan dan makna pengarang aslinya. Karena itu, sangat baik jika seorang penafsir memiliki pengetahuan tentang bahasa asli Alkitab (Ibrani/Aram dan Yunani).
- Perkataan teks asli sedapat mungkin diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang. Dalam usaha memahami maksud pengarang yang sebenarnya, semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan. Dalam perjalanan sejarah, bahasa dan kata-kata dapat mengalami perubahan arti. Hal ini harus diperhatikan oleh penafsir.
- Untuk memahami maksud pengarang, perkataan atau ungkapan yang digunakan hendaknya ditempatkan dalam konteks penggunaannya. Perkataan-perkataan harus dipahami dalam konteks kalimatnya, konteks seluruh pasal, bahkan mungkin konteks seluruh kitab. Ada kalanya karangan-karangan lain dari penulis yang sama bermanfaat untuk menolong memahami secara tepat perkataan-perkataan atau ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam suatu teks. Tidak mustahil pengarang mempunjai kosakata serta peristilahannya sendiri. Misalnya, istilah “daging” (sarks) dalam tulisan-tulisan Paulus, atau “dunia” dalam tulisan-tulisan Yohanes, masing-masing mempunyai makna yang khas.
- Untuk memahami pesan teks secara benar, teks-teks tersebut harus ditempatkan dalam konteks historisnya. Maksudnya, teks tersebut baru dapat dimengerti secara tepat jika penafsir mengetahui latar belakang historisnya, situasi politis yang melingkupinya, jalinan sosio-kultural, alam berpikir, serta gagasan keagamaan yang melatarbelakanginya. Singkatnya, situasi konkret pengarang ikut menentukan makna/maksud perkataan dan tulisannya.
- Penafsir hendaknya memahami bentuk pewartaannya, karena teks-teks Alkitab menggunakan berbagai wahana sastra. Untuk menangkap pesan teks, penafsir perlu menempatkan dan memaknai teks tersebut sesuai dengan wahana sastra yang digunakan untuk penulisnya. Bentuk-bentuk sastra yang digunakan antara lain: narasi (penceritaan: bisa berupa penuturan personal, penuturan yang bersifat historis atau penuturan dengan menggunakan setting historis, sekalipun sebenarnya tidak benar-benar historis), puisi atau hymne, paranesis (perintah atau nasihat terapan), sastra kebijaksanaan, perumpamaan (perumpamaan lugas, ilustrasi/ permisalan dan allegori), sastra apokaliptis.
- Dalam menarik keluar pesan (atau pesan-pesan) teks Alkitabiah dan menerapkan dalam kehidupan masa kini, penafsir tidak mungkin mengabaikan konteks kekiniannya secara luas.
Semoga bermanfaat.
Pengampu,
Bambang Subandrijo