Rajin berbuat baik sebagai bukti iman
Kis 17:22-31; Mazmur 68; 1 Petrus 3:13-22; Yoh 14:15-21
Keyahudian dan Kekristenan dimulai dengan pengalaman penderitaan. Nabi Musa menurut kitab suci orang Yahudi dan kita, adalah orang yang memperkenalkan nama Tuhan kepada para budak di tanah Mesir. Para budak di Mesir hidup berpuluh tahun dalam kekuasaan raja dan rakyat Mesir. Ketika Musa, atas perintah Tuhan, datang untuk membebaskan mereka, barulah mereka mengingat kembali Tuhan yang pernah disembah para bapa leluhur mereka. Puluhan tahun, bergenerasi lamanya, mereka di bawah tekanan penderitaan, hanya sanggup hidup dari hari ke hari. Tak dapat mereka melihat kemungkinan lain dalam hidup ini, selain bertahan hidup hari ini, untuk kembali menderita dan diperbudak esok hari.
Dalam suasana seperti itu butuh waktu puluhan tahun juga bagi Musa dan kemudian Yosua, mengantar dan mengajar para bekas budak ini untuk hidup sebagai orang merdeka. Perlu waktu cukup lama untuk mengantar dan mengajar keturunan bekas budak ini untuk percaya dan hidup bergantung kepada Tuhan. Penderitaan selama puluhan tahun, membutuhkan waktu belajar puluhan tahun untuk hidup dalam pengharapan dan sukacita di dalam Tuhan.
Pengalaman orang-orang Kristen pertama juga tidak jauh dari penderitaan. Bahkan Yesus sendiri menjalani penderitaan tersebut. Berbeda dengan pengalaman para budak di Mesir, 14,5 abad sebelumnya, Yesus menderita dengan kesadaran penuh. Yesus merelakan dirinya untuk menderita demi ketaatan-Nya kepada sang Bapa. Beberapa kaisar Romawi mengangkat diri mereka sebagai dewa. Orang-orang Kristen, seperti orang Yahudi, dan beberapa penganut agama yang hanya menyembah satu Tuhan mengalami kesulitan untuk mengikuti peraturan pemerintah ini. Maka orang-orang Kristen, orang Yahudi, dan semua orang yang tidak bisa menyembah kaisar digolongkan sebagai orang-orang ateis, yaitu orang-orang yang anti-agama Romawi.
Di beberapa tempat di wilayah kekaisaran Romawi orang-orang yang dianggap ateis ini diperlakukan sebagai warga masyarakat yang tidak taat. Hal ini membingungkan bagi orang-orang Kristen dan mereka yang dianggap ateis ini. Kami hidup sebagai warga masyarakat yang baik, kami membayar pajak, kami hidup bertetangga dengan baik, dan seterusnya. Mengapa karena kami tidak mau mempersembahkan makanan dan bunga pada hari-hari upacara penyembahan kaisar, sekarang kami dianggap kriminal dan orang jahat?
Mula-mula perlakukan kepada para ateis versi Romawi ini hanyalah gangguan atau pengucilan. Namun perlahan-lahan, rasa permusuhan dan kecurigaan kepada para ateis ini, termasuk orang Kristen, menjadi kekerasan yang meluas. Dalam situasi seperti itulah surat 1 Petrus ini dikirimkan dan dibacakan kepada jemaat-jemaat. Mereka menyadari bahwa diri mereka adalah orang baik-baik, bahkan pilihan mereka untuk dianggap ateis, karena tidak menyembah kaisar, adalah sikap iman. Namun karena pilihan iman itu, kini mereka kapan saja bisa menjadi sasaran kekerasan dari siapa saja yang tidak menyukai mereka. Betapa beratnya anjuran sang rasul bagi mereka.
‘Siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?’ Ternyata ada saja, bahkan banyak orang yang akan berbuat jahat. Apakah kalau begitu kita harus berhenti berbuat kebaikan? ‘Sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia.’
Mengapa dan bagaimana caranya orang menderita sekaligus berbahagia? Bukankah orang tidak ada yang ingin mengalami penderitaan? Apalagi bila penderitaan itu bukan karena kesalahan, melainkan karena kebaikan. Nasihat sang rasul bukanlah teka-teki. Melainkan sebuah kebenaran di tengah pengalaman yang sangat menyedihkan dan menyakitkan bagi orang-orang Kristen. Sang rasul bersama para murid terdekat Yesus, melihat dan mengalami sendiri dari dekat bagaimana guru dan Tuhan sendiri harus menderita, padahal tidak ada kesalahan dan kejahatan apapun yang diperbuat-Nya.
Jadi tidak selalu penderitaan dan kejahatan yang kita alami adalah hukuman atas kesalahan kita. Penderitaan bukan juga bukti bahwa Tuhan sudah meninggalkan kita. Mengalami penderitaan dan berbuat baik tampak sebagai dua hal yang bertolak belakang. Untuk apa saya berbuat baik, kalau kemudian saya menderita? Untuk apa saya tetap berbuat kebaikan, bila penderitaan dan kesakitan yang saya alami tidak kunjung reda? Untuk apa saya melakukan kebaikan, bila balas yang saya terima adalah kejahatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat manusiawi dan wajar. Berbuat baik ganjarannya tentu saja sesuatu yang baik juga. Berbuat jahat tentu hukumannya harus setimpal dengan kejahatan yang harus dilakukan. Hal ini sangat sederhana dan hal ini jugalah yang biasa kita ajarkan kepada anak-anak dan orang-orang muda, agar mereka berusaha untuk menjadi orang-orang baik dan
melakukan kebaikan. Namun kenyataan hidup ternyata tidak sesederhana rumus seperti itu. Sang rasul menyadari betul, bahwa bagi orang beriman yang sedang bergumul dengan rumus yang sederhana itu, kepada mereka harus diberikan tuntunan yang melampaui rumus yang sederhana itu. Tetaplah berbuat baik, sekalipun orang berbuat jahat. Tetaplah berbuat baik, karena itulah hakikat diri kita sebagai orang beriman pada Yesus. Tetaplah berbuat baik, bukan karena mengharapkan orang lain berbuat baik. Tetaplah berbuat baik, sekalipun sulit untuk berbuat baik.Tetaplah berbuat baik, agar sekalipun menderita, kita dapat berbahagia di dalam Tuhan. (YSO)