Siapakah Manusia?
Siapakah manusia? Banyak cabang ilmu berusaha menjawab pertanyaan ini, dengan sudut pandangnya masing-masing. Teologi juga berusaha menjawab pertanyaan ini. Menurut teolog Thomas Aquinas (1225 – 1274), dalam bukunya Summa Theologica, teologi didefenisikan sebagai, “suatu sains terpadu di mana semua unsurnya dibahas di bawah aspek Allah entah karena hal-hal tersebut berbicara tentang Allah itu sendiri atau karena hal-hal tersebut merujuk kepada Allah”. Sedangkan menurut teolog Charles Hodge (1797 – 1879), dalam bukunya Systematic Theology, “teologi adalah sains tentang fakta-fakta penyataan Ilahi sejauh fakta-fakta tersebut menyangkut natur Allah dan relasi kita dengan Dia”.
Alkitab menggambarkan dengan jelas mengenai relasi manusia dengan Allah, sang pencipta manusia, yang dimulai sejak penciptaan. Di dalam Kejadian 1:1-30, manusia sejak awal dirancang oleh Allah untuk diciptakan sebagai ciptaan yang tertinggi dan mulia. Setidaknya kita menemukan dua hal dari Kejadian 1 ini yang menggambarkan hal tersebut. Pertama, segala sesuatu diciptakan terlebih dahulu sebagai “jalan dan pendukung” dan dipastikan baik adanya, bagi kehadiran manusia. Pada saat yang tepat, hari ke enam, Allah menciptakan manusia. Karya Allah yang menciptakan manusia, membuat semua yang telah diciptakan-Nya menjadi “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Kedua, jika segala sesuatu diciptakan hanya melalui firman, maka tidak demikian adanya manusia. Di dalam kekekalan, Allah Tritunggal bersepakat menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej. 1:26). Allah menciptakan manusia seperti seorang penjunan yang bekerja membentuk manusia menjadi suatu ciptaan yang seturut gambar dan rupa-Nya.
Fakta bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, menggambarkan relasi yang unik antara Allah dengan manusia. Manusia adalah wakil Allah dalam hubungannya dengan ciptaan Allah lainnya. Sebagai wakil, manusia diberi perintah untuk menguasai bumi (ciptaan Allah), dan pada saat yang bersamaan, manusia memiliki tanggung jawab untuk memastikan ciptaan Allah tetap “baik adanya”.
Dalam dunia modern ini, sebagai orang Kristen, salah satu relasi manusia dengan Allah tercermin dalam peran manusia sebagai profesional. Sebagai seorang profesional Kristen, bekerja adalah pangggilan Allah, maka para profesional Kristen seharusnya lebih sungguh-sungguh lagi untuk meraih performance sebaik mungkin, bukan untuk kebaikan dirinya sendiri, tetapi untuk memuliakan Allah yang telah mempercayakan pekerjaan/usaha tersebut. Dalam konteks ini, seruan Paulus dalam Kolose 3:22-24 merupakan seruan yang dikumandangkan juga untuk para profesional Kristen jaman sekarang. Mereka adalah wakil Allah untuk mengusahakan yang baik melalui pekerjaan/usahanya, dan menjadikan Allah sebagai tuannya. Dengan demikian, etos kerja profesional Kristen adalah etos kerja yang memandang Allah sebagai tuan (CEO/Owner) mereka dalam bekerja/berusaha.
Sebagai seorang profesional Kristen yang menyadari kebenaran tentang panggilan Allah ini, maka sudah semestinya ia hidup dan bekerja untuk mendatangkan kebaikan yang dapat mencerminkan sifat Allah serta melihat anak buahnya ataupun karyawannya sebagai manusia yang mulia yang merupakan gambar Allah. Praktisnya, kebenaran tentang panggilan ini, seharusnya mendorong dia untuk melihat karyawannya atau anak buahnya sebagai manusia dan bukan sebagai aset. Sebagai manusia, yang pada dirinya kita melihat Allah, sehingga kita selalu melihat bahwa setiap karyawan atau setiap orang yang ada di dalam struktur organisasi kita adalah sangat berharga. Bukan sebagai aset, yang hanya dilihat dari produktifitasnya saja. Bukankah jika hal ini terjadi, kemuliaan Allah akan nyata dalam dunia para profesional ? (PSI)