Tafsir dan khotbah Leksionari

Tafsir Dan Khotbah Leksionari
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

1.      Pengantar

Persidangan Majelis Sinode ke XIV Gereja Kristen Indonesia di Denpasar, Bali berhasil
menetapkan Liturgi dengan pembacaan Alkitab secara leksionari. Maksud pola pembacaan secara

leksionari berarti pembacaan Alkitab yang semula hanya satu bacaan saja, kini menjadi 4
pembacaan dengan perincian sebagai berikut:

  •  Bacaan1            : PerjanjianLama
  • AntarBacaan       : Mazmur
  • Bacaan II            : Surat Rasuli
  • Bacaan III           : Injil

Pertanyaan yang muncul adalah apakah suatu khotbah dengan pembacaan Leksionari tersebut, pengkhotbah atau pendeta harus mengkhotbahkan keempat bacaan tersebut? Ada anggapan bahwa pola khotbah yang berupaya mengkait-kaitkan keempat bacaan tersebut merupakan suatu pemaksaan tafsir.  Dalam hal ini kita harus mengakui bahwa kita baru pertama kali menggunakan pola pembacaan secara leksionari, sehingga dapat dipahami timbul kesimpangsiuran dan kesalahpahaman. Karena kita semua pada prinsipnya sedang belajar dan terus belajar, agar pemberitaan firman Tuhan dalam seluruh kebaktian GKI makin dapat menyentuh dan memampukan
seluruh anggota jemaat untuk melaksanakan pembangunan jemaat dan memiliki spiritualitas iman Kristen yang dewasa.

2.      Bahan Khotbah Secara Leksionari

   Ada suatu anggapan bahwa yang dikhotbahkan dalam suatu kebaktian hanyalah salah satu bagian dari Alkitab saja, misal dari bacaan I saja, atau dari bacaan II. Ada juga yang mengatakan bahwa yang layak dikhotbahkan hanyalah bacaan III yaitu Injil. Saya kira anggapan atau pandangan tersebut memiliki landasan teologis dan tafsir yang cukup dapat dipertanggungjawabkan. Sebab dengan memfokuskan diri kepada salah satu bacaan dari ketiga atau keempat bacaan yang tersedia, kita dapat menggali suatu tafsir Alkitabiah yang lebih mendalam.  Tetapi muncul suatu pertanyaan, benarkah pembacaan Alkitab yang tersedia hanyalah sekedar suatu pembacaan liturgis belaka, sehingga kita tidak memperdulikan apakah anggota jemaat dapat mengerti dan memahami dari apa yang telah mereka baca dalam suatu ibadah? Ataukah anggota jemaat hanya terpaksa wajib untuk membaca bahan-bahan Alkitab  secara leksionaris karena telah diputuskan oleh PMS ke XIV GKI?
   Apabila kita memperhatikan buku “The Lectionary Commentary”, Theological Exegesis for Sunday’s Texts dengan editor Roger E. Van Harn sangat jelas bahwa yang dikhotbahkan dalam kebaktian Minggu hanyalah Injil belaka.  Memang fokus utama dari Leksionari dalam arus pemikiran ini adalah Injil. Sebab melalui Injil, umat percaya  dapat mengenal sejarah keselamatan Allah yang secara paripurna dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dalam buku yang berjudul “Memberitakan Injil Kerajaan” ulasan Injil hari MInggu Tahun A, B, dan C untuk Masa Khusus dan buku “Inilah Yesus Kristus” ulasan Injil hari Minggu Tahun A, B dan C untuk Masa Biasa tulisan Dr. Martin Harun, OFM dari Lembaga Biblika Indonesia sangat jelas hanya mengulas bahan-bahan dari kitab Injil saja.  Tetapi dalam pemahaman secara kanonik, pandangan tersebut perlu dipertanyakan secara kritis yaitu benarkah kitab Injil-Injil menempati posisi tertinggi dan karena itu selain Injil yaitu kitab-kitab lain seperti  Alkitab Perjanjian Lama, kitab Mazmur, dan surat-surat para rasul  tidak boleh ditafsirkan dan dikhotbahkan dalam kebaktian hari Minggu?

Dalam buku “The Minister’s Manual 2007 yang diedit oleh James W. Cox dan Lee McGlone, kita dapat melihat bahwa khotbah leksionari ternyata tidak hanya diambil dari Injil saja. Misal untuk Minggu tanggal 7 Januari 2007, bahan khotbah diambil dari Yes. 43:1-7 dengan topik: “The Turn of a New Year”.  Kemudian untuk hari Minggu tanggal 14 Januari 2007 sebagai “Lectionary Message”-nya diambil dari I Kor. 12:1-11 dengan judul: “The Believer and Spiritual Gift”. Jadi bahan khotbah (pemberitaan firman) secara leksionari ternyata dapat diambil dari salah satu ketiga bacaaan yang tersedia, dengan demikian khotbah dalam kebaktian hari Minggu bukan hanya diambil dari kitab Injil saja. Dalam pemikiran ini, kita selaku gereja  wajib memperlakukan semua kitab dalam Alkitab sejajar dan masing-masing kitab tersebut memiliki kewibawaan yang setara. 

3. Pola Ekesegese Leksionari

Pola eksegese leksionari (ilmu tafsir secara leksionaris) pada prinsipnya  saya pahami dan
didefinisikan, yaitu sebagai: “pola tafsir alkitabiah yang berusaha menggali teks-teks yang tersedia secara leksionaris, yang  mana setiap teks dari keempat bacaan leksionaris  pada hakikatnya memiliki latar-belakang  historis, pemikiran dan  makna teologis  yang berbeda. Namun dari penggalian tafsir alkitabiah yang dilakukan secara eksegetis tersebut kita mau belajar mendengar untuk memahami pesan dan makna teologis dari keempat teks yang tersedia sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologis yang lebih utuh dan menyeluruh. Dengan demikian kita selaku gereja dapat menyampaikan kebenaran firman Tuhan yang relevan dengan kehidupan jemaat”.
Dengan definisi yang saya maksudkan di atas dalam pola eksegese leksionari adalah:

  1. Tiap-tiap teks yaitu khususnya dari ketiga bacaan Alkitab yaitu: Perjanjian Lama, surat dari para rasul, dan Injil harus ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir (eksegese) yang berlaku.
  2.  Karena pembacaan secara leksionari berputar setiap tiga tahun,maka hasil tafsir tersebut perlu memfokuskan diri kepada tema dan tujuan yang telah dirumuskan.
  3. Apabila dari hasil tafsir terhadap salah satu dari keempat teks leksionari ternyata bertentangan dengan tema atau tujuan yang telah dirumuskan, sebaiknya  tema   atau tujuan yang didukung oleh salah satu teks yang menjadi acuan khotbah. Dalam hal ini bahan khotbah atau pemberitaan firman Tuhan cukup diambil dari satu kitab saja.
  4. Pengkhotbah atau pendeta tidak perlu memaksakan hubungan ide atau makna teologis dari ketiga atau keempat teks Alkitab dalam pemberitaan firmanNya. 
  5. Namun apabila dari hasil tafsir yang telah dilakukan secara benar dan bertanggungjawab si pengkhotbah atau pendeta dapat menemukan hubungan dari ketiga atau keempat teks bacaan, maka “penemuan” terhadap hubungan-hubungan ide/pesan teologis tersebut perlu dikomunikasikan si pengkhotbah kepada  anggota jemaat dalam pemberitaan firmanNya.
  6. Khotbah leksionaris bukan sekedar suatu pemberitaan firman yang hanya mampu untuk melihat hubungan ide dan pesan dari ketiga atau keempat bacaan yang tersedia, tetapi juga  yang tak kalah pentingnya adalah apakah dari hasil tafsir yang telah dilakukan si pengkhotbah juga mampu melihat secara tepat hubungan firman Tuhan yang ditafsirkan itu dengan pergumulan dan  kehidupan nyata anggota  jemaat.
  7. Pola tafsir atau eksegese leksionari bukan sekedar suatu upaya penafsiran akademis terhadap ketiga atau keempat teks bacaan, tetapi yang dibutuhkan adalah suatu upaya tafsir yang bertanggungjawab dan reflektif-teologis, sehingga mampu menggugah, memotivasi, membekali  dan membangun spiritualitas anggota jemaat yang mendengarkan firman Tuhan tersebut.

4.      Pembangunan Jemaat

Tugas utama dari kehidupan berjemaat adalah melaksanakan pembangunan jemaat. Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Tata Laksana GKI pasal 52, makna dari salah satu  pembangunan jemaat adalah: “pemberdayaan seluruh anggota GKI dan kelompok-kelompok pelayanan dalam jemaat dengan mendayagunakan talenta-talenta yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka serta memanfaatkan potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam jemaat itu” (Talak GKI 52:2.a). Dalam hal ini saya memahami bahwa melalui pemberitaan firman Tuhan setiap kebaktian hari Minggu pada prinsipnya kita sedang melaksanakan upaya pemberdayaan kepada seluruh jemaat.  Dalam konteks pemberitaan firman secara leksionaris, saya memahami
makna pemberdayaan untuk menciptakan pembangunan jemaat, yaitu sebagai:

  1. Anggota jemaat berperan serta secara aktif dalam pembacaan Alkitab.
  2. Anggota jemaat diajak mempersiapkan kebaktian dan pemahaman   terhadap firman Tuhan dengan  terlebih dahulu membaca firman Tuhan dari keempat bacaan yang tersedia.
  3. Anggota jemaat diajak untuk mampu melihat hubungan suatu teks dengan teks lain, dan pada pihak lain anggota jemaat juga diajak bersikap jeli dan kritis untuk melihat perbedaan-perbedaan teologis yang dikemukakan oleh keempat bacaan leksionari tersebut.
  4. Anggota jemaat makin terlatih untuk menyikapi suatu khotbah yang bermutu dan sungguh-sungguh dipersiapkan secara matang, serta mampu disampaikan secara etis, relevan dan bertanggungjawab.
  5. Anggota jemaat terdorong untuk membaca Alkitab secara lebih kontinyu melalui pembacaan Alkitab secara leksionaris setiap hari (daily readings), sehinggga mereka makin menyerap nilai-nilai firman Tuhan dalam kehidupan dan pergumulan mereka.

5.     Mazmur Untuk Didaraskan saja?

Kitab Mazmur telah menjadi bagian dari pembacaan leksionaris. Tetapi bagaimana dengan pembacaan kitab Mazmur yang umumnya hanya dijadikan sebagai antar bacaan belaka? Apakah dengan pola pembacaan leksionari, kita selaku gereja Tuhan tidak pernah lagi mengkhotbahkan kitab Mazmur dalam kebaktian-kebaktian kita?
Pembacaan kitab Mazmur dalam pola pembacaan leksionari disebut sebagai antar bacaan untuk menanggapi bacaan pertama dari firman Tuhan, yaitu yang diambil dari Alkitab Perjanjian Lama. Bentuk tanggapan dengan kitab Mazmur tersebut dapat berupa bacaan,atau nyanyian.  Nyanyian Mazmur tersebut dapat kita lihat dalam buku nyanyian yang pernah digunakan oleh sinode-sinode GKI wilayah sebelum mereka menyatukan diri sebagai jemaat GKI, yaitu “Mazmur dan Nyanyian Rohani”. Dalam hal ini saya pribadi memiliki pandangan sebagai berikut:

  1. Kita dapat setuju bahwa letak atau tempat kitab Mazmur dalam pembacaan secaraleksionaris merupakan antar bacaan untuk menanggapi pembacaan Alkitab Perjanjian Lama.
  2. Walau kitab Mazmur dalam tradisi umat Israel dan gereja awal lebih cenderung untuk didaraskan dalam suatu acara ibadah, namun perlu diingat bahwa berulang-ulang kitab Injil mengutip kitab Mazmur sebagai rujukan nubuat terhadap kehidupan dan karya Kristus (misal Kis. 4:25-26 dikutip dari Mzm. 2:1-2; Kis.  13:35 dikutip dari Mzm. 16:10; Mat. 27:46 dan ayat paralel dari Mzm. 22:2, dan sebagainya). Jadi menurut pemahaman saya, kitab Mazmur bukan sekedar kumpulan nyanyian ibadah, tetapi  kitab Mazmur juga memiliki tempat sebagai kitab pengajaran iman yang sejajar dengan kitab-kitab kanonik yang lain.
  3. Sebagai gereja, selama ini kita telah banyak belajar dan menggali kekayaan teologis, spiritualitas dan hikmat dari kitab Mazmur.
  4. Tafsir kitab Mazmur merupakan khasanah dari ilmu biblika yang terus berkembang, sehingga  kita juga perlu bertanggungjawab untuk terus mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menafsirkan  kitab Mazmur.
  5. Bahan-bahan khotbah selain diambil dari ketiga bacaan, yaitu dari Alkitab Perjanjian Lama, surat rasuli dan Injil juga perlu dijadwal secara bersengaja teratur bahan-bahan dari kitab Mazmur.
  6. Kedudukan kitab Mazmur dalam pembacaan dan penafsiran secara leksionaris dapat memiliki hubungan ide, maksud, dan makna secara teologis dengan ketiga bacaan leksionaris lainnya; tetapi juga kitab Mazmur pada prinsipnya dapat berdiri sendiri dan berwibawa untuk menyampaikan pengajaran firman Tuhan.

Dengan pemikiran tersebut di atas, saya pribadi beranggapan bahwa kedudukan kitab Mazmur  dalam liturgi GKI bukanlah sekedar untuk didaraskan atau dibacakan sebagai tanggapan terhadap bacaan pertama. Tetapi selain berfungsi sebagai antar bacaan, kitab Mazmur juga perlu diberi tempat sebagai dasar pemberitaan firman Tuhan dalam berbagai bentuk kebaktian yang diselenggarakan oleh jemaat-jemaat di lingkungan GKI.

6. Penutup

Suatu khotbah yang lahir dari eksegese leksionari  diharapkan oleh anggota jemaat dapat menjadi suatu khotbah yang efektif, relevan, menyentuh hati dan komunikatif. Karena itu maksud dari khotbah leksionari bukanlah suatu khotbah yang berpanjang-lebar menguraikan tafsiran tiap-tiap teks. Pengkhotbah atau pendeta wajib menggali dan menafsir seluas dan sedalam mungkin terhadap bahan-bahan teks Alkitab, tetapi dia juga harus tetap arif dan kontekstual dengan kebutuhan dan kemampuan anggota jemaat. Itu sebabnya suatu eksegese leksionari bertujuan untuk menjadi media dari inkarnasi firman yang hidup dan yang memampukan anggota jemaat sebagai pelaku-pelaku firman Tuhan. Ini berarti eksegese leksionari bukanlah tujuan pada dirinya, tetapi hanyalah alat yang perlu terus-menerus diasah, dilatih dan dikembangkan agar setiap anggota jemaat dimampukan untuk berjumpa dengan Allah melalui pemberitaan firman.
   Pada akhirnya suatu pemberitaan firman yang lahir dari suatu eksegese apapun termasuk eksegese leksionari bukan segala-galanya. Sebab dalam melaksanakan pemberitaan firman yang berhasil sangat ditentukan pula oleh faktor mental, spiritual, kesiapan materi, kemampuan mengkomunikasikan, dan kejelian untuk memahami persoalan hidup jemaat. Tetapi semua hal yang baik tersebut juga tidak dapat mencapai tujuan dari pelaksanaan suatu kebaktian, manakala tidak didukung oleh unsur-unsur liturgi dan pemimpin liturgi lainnya. Jika demikian, tiada jalan lain kecuali kita harus sungguh-sungguh mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan suatu kebaktian baik melalui persiapan secara pribadi maupun persiapan secara kolektif  dengan semua pihak sebagai tim kerja yang berkomitmen dan antusias untuk melaksanakan kebaktian yang berkenan kepadaNya.

Tuhan memberkati pelayanan kita bersama!

KEBAKTIAN MINGGU

SIAPA YANG LEBIH BERHARGA

Yesaya 65 : 1 – 9; Mazmur 22 : 19 – 28; Galatia 3 : 23 – 29; Lukas 8 : 26 – 39

Kebaktian 22 Juni 2025 oleh Pdt. Frida Situmorang (GKI Samanhudi)

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering tanpa sadar menilai orang berdasarkan status, latar belakang, penampilan, atau masa lalu mereka. Ada yang dianggap lebih penting karena jabatannya, lebih rohani karena penampilannya, atau lebih layak karena asal usulnya. Namun, pertanyaan penting yang perlu kita renungkan adalah: siapa yang sebenarnya lebih berharga di mata Tuhan?

Nabi Yesaya menyampaikan bahwa Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada bangsa yang tidak mencari-Nya. Ia berkata, “Aku telah berkenan memberi petunjuk kepada orang-orang yang tidak bertanya-tanya tentang Aku.” Sebaliknya, umat yang seharusnya mengenal dan menaati Tuhan justru memberontak, menyakiti hati-Nya dengan sikap keras kepala dan penyembahan berhala. Tapi Allah, dalam kesetiaan-Nya, tetap menjaga sisa umat yang takut akan Dia. Ini menggambarkan kasih karunia yang tidak terbatas oleh bangsa, tradisi, atau sejarah rohani. Yang dikejar Tuhan bukanlah kemurnian ritual, tapi hati yang rindu mengenal-Nya.

Mazmur 22 menambah lapisan makna yang dalam. Di tengah ratapan dan penderitaan, pemazmur berseru kepada Tuhan, dan mengakui bahwa Allah tidak memandang hina kesengsaraan orang yang tertindas. Bagi Tuhan, suara dari lembah kesakitan sama berharganya dengan pujian dari tempat tinggi. Bahkan dikatakan bahwa semua bangsa dan segala penghuni bumi akan datang menyembah-Nya. Artinya, tidak ada golongan yang lebih dekat atau lebih jauh; semua punya tempat di hadapan-Nya.

Rasul Paulus kemudian menjelaskan inti dari Injil dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Di dalam Kristus, tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi atau Yunani, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan. Semuanya adalah satu. Ini bukan hanya slogan kesetaraan, tapi sebuah pernyataan iman: bahwa setiap orang yang percaya adalah anak Allah dan ahli waris janji-Nya. Di hadapan Tuhan, imanlah yang menjadi dasar nilai kita, bukan ras, gender, kedudukan sosial, atau sejarah hidup.

Lalu kita sampai pada kisah Yesus dan seorang yang kerasukan di tanah Gerasa. Ia adalah sosok yang dijauhi, dianggap gila, dan bahkan tinggal di kuburan. Masyarakat sudah menyerah padanya. Namun Yesus tidak. Ia melihat seseorang yang berharga, yang pantas dipulihkan. Setelah disembuhkan, orang itu duduk dengan tenang, berpakaian, dan waras. Dan lebih dari itu, ia diutus Yesus untuk kembali ke rumahnya dan memberitakan kasih Allah. Orang yang semula dianggap “sampah masyarakat” justru menjadi saksi kasih Tuhan.

Jadi, siapa yang lebih berharga? Bukan yang paling benar di mata manusia. Bukan pula yang paling religius secara lahiriah. Yang berharga adalah mereka yang dijangkau kasih karunia, yang mengalami pemulihan, dan yang mau hidup dalam kebenaran Tuhan. Itu bisa siapa saja: orang biasa, orang terbuang, orang berdosa, bahkan kita sendiri.

Maka, mari kita berhenti membandingkan diri atau menghakimi orang lain. Kita semua berdiri setara di hadapan salib Kristus. Dan di mata-Nya, setiap jiwa begitu bernilai. Yang Tuhan cari bukanlah kesempurnaan, tapi hati yang mau dipulihkan dan diutus.

Kiranya kita belajar untuk melihat sesama seperti Kristus melihat orang Gerasa itu—bukan dari apa yang tampak, tapi dari potensi pemulihan dan kasih yang bisa dinyatakan melalui hidupnya. Karena siapa pun kita, ketika dipanggil oleh kasih-Nya, kita menjadi sangat berharga.

Jadwal Kebaktian GKI Kota Wisata

Kebaktian Umum 1   : Pk. 07.00 (Onsite)

Kebaktian Umum 2  : Pk. 09.30 (Hybrid)

Kebaktian Prarem 8 : Pk 07.00 (Onsite)

Kebaktian Prarem 7 : Pk. 07.00 (Onsite)

Kebaktian ASM 3-6  : Pk. 07.00 (Onsite)

Kebaktian ASM 1-2   : Pk. 09.30 (Onsite)

Kebaktian Batita, Balita: Pk. 09:30 (Onsite)

Kebaktian Remaja  Pk 09.30 (Onsite)

Kebaktian Pemuda Pk. 09.30 (Onsite)

Subscribe Youtube Channel GKI Kota Wisata dan unduh Aplikasi GKI Kota Wisata untuk mendapatkan reminder tentang kegiatan yang sedang berlangsung

 

 

GKI Kota Wisata

Ruko Trafalgar Blok SEI 12
Kota Wisata – Cibubur
BOGOR 16968

021 8493 6167, 021 8493 0768
0811 94 30100
gkikowis@yahoo.com
GKI Kowis
GKI Kota Wisata
: Lokasi

Nomor Rekening Bank
BCA : 572 5068686
BCA : 572 5099000 (PPGI)
Mandiri : 129 000 7925528 (Bea Siswa)

Statistik Pengunjung

699584
Users Today : 866
Users Yesterday : 1512
This Month : 26287
This Year : 251734
Total Users : 699584
Who's Online : 19