Terang
TERANG
(Mat 5:16)
Penikmat buku yang lahir sebelum tahun 2000 mungkin tak asing lagi dengan nama Winnetou ketua suku Apache, tokoh fiktif karya Karl May. Meskipun masih muda, ia digambarkan sebagai pribadi teguh dan luhur selayaknya seorang ketua suku Indian. Ia bersahabat dengan Old Shatterhand, seorang pemuda Jerman yang menghidupkan nilai-nilai kristiani dalam kesehariannya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ketua suku muda ini mengungkapkan pada sang sahabat bahwa ia telah memutuskan menjadi seorang kristen (dalam judul buku: “Winnetou Gugur”).
Jika mengikuti serial kisah Winnetou secara lengkap, pembaca akan melihat bahwa keputusan tersebut bukanlah keputusan sesaat, melainkan keputusan yang diambilnya melalui pergumulan panjang. Keputusan yang dipengaruhi oleh keseharian Old Shatterhand yang konsisten menerapkan sikap kristiani. Old Shatterhand tidak berkhotbah dengan perkataan. Ia menunjukkan imannya lewat perbuatan, baik dalam hal-hal kecil dan remeh, maupun pada perkara-perkara besar.
Memang kedua tokoh tersebut adalah tokoh fiktif, yang digambarkan begitu “hidup” oleh pengarangnya. Pun belum tentu dimaksudkan untuk mengingatkan pembaca akan Yakobus 2:17-18,
Demikian juga halnya dengan iman. Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: ”Padamu ada iman, dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”
Tetapi sebenarnya – sebagai umat Kristen – mudah bagi kita untuk mengaitkan dengan apa yang semestinya kita lakukan. Dikatakan dalam Matius 5:16,
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Ayat tadi tidak menyuruh kita menjadi “terang musiman” yang bersinar hanya saat menyadari adanya penonton atau orang lain yang sedang memperhatikan kita. Atau sekedar untuk mencari pujian dan decak kagum. Ayat ini bicara tentang jati diri kita sebagai umat Kristus, yang harus memancarkan cahayaNya setiap saat melalui apapun yang kita perbuat, agar Bapa di sorga dipermuliakan.
Itu artinya, segala perbuatan kita seyogyanya merupakan kesaksian hidup yang mencerminkan kemuliaan Bapa. Bukan cuma indah di mulut tapi diam-diam hati dan kepala merencanakan sesuatu yang berlawanan. Atau sebaliknya, sudah benar dalam isi hati namun mulut dan perbuatan ternyata tidak menunjukkan hal itu. Selaraskah perilaku kita di kantor, di rumah, di masyarakat, dan di gereja, atau adakah agenda-agenda lain yang masih kita sembunyikan? Bagaimana sikap kita ketika bertemu dengan sesama? Apakah orang lain merasakan sukacita dalam interaksinya dengan kita? Atau jangan-jangan malah kehadiran kita cenderung membawa kepahitan, pertikaian, sungut-sungut (yang belum tentu disampaikan secara terbuka), dan menghilangkan kedamaian di lingkungan kita?
Memang tidak satupun di antara kita ini sempurna. Tapi tidak ada pilihan, jika kita mau menyebut diri sebagai anak-anakNya, kita perlu introspeksi diri. Menuruti perintahNya adalah sebuah proses panjang. Proses yang tidak mudah. Sering kali berbenturan dengan kehendak, keinginan dan kesombongan kita. Bahkan waktu seumur hiduppun mungkin tak cukup untuk menyempurnakan kita. Namun bukan berarti proses itu tak mungkin dijalani. Sederhana saja sebenarnya, bila kita mau menyediakan waktu untuk mengevaluasi perbuatan kita dan bertekad untuk terus memperbaiki diri seturut perintahNya, maka kita pasti mendapat kemajuan sebagai saksiNya.
Jika proses ini kita lakukan, apakah kemudian kita pasti bisa seperti Old Shatterhand yang membawa jiwa Winnetou kepada Kristus? Belum tentu! Kita tidak boleh melakukan klaim atas hal itu. Jangan kita mencuri kemuliaan Tuhan. Kita hanya wajib menjalankan bagian kita, dan Roh Kuduslah yang sesungguhnya bekerja menyempurnakan segalanya. (GBM)