What on earth am I for ?
WHAT ON EARTH AM I HERE FOR?
“Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu dia dipanggil Allah, Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat” 1 Kor 7:17
Tujuan adalah satu yang harus ada dalam organisasi, kelompok ataupun pribadi seseorang. Negara punya tujuan, perusahaan punya tujuan, gereja punya tujuan, kelompok arisan punya tujuan, anak remaja nongkrong punya tujuan. Segala sesuatu yang kita kerjakan pastinya punya tujuan. Namun apakah kita sedang berada dalam kesadaran bahwa kita sedang berada dalam “tujuan” yang dimaksud ataukah kita adalah orang yang terseret oleh berbagai tujuan dan kehilangan arah diri kita.
Hidup terseret dalam tujuan yang tidak kita sadari, hidup kita akan terseret ke kanan, ke kiri, ke depan atau belakang tanpa suatu fokus yang jelas, terbawa arus. Waktu, energi, uang akan terbuang tidak efisien karena tidak terfokus pada arah yang jelas.
Sebagian besar waktu kita kita dedikasikan untuk “bekerja”, baik itu sebagai karyawan, wiraswasta, professional ataupun pekerjaan non profit seperti ibu rumah tangga ataupun kerja sosial lainnya. Apakah ketika kita melalui proses “bekerja” tersebut kita sedang dalam suatu tujuan? Berharap kita semua menjawab “ya”. Namun yang menjadi pemikiran kita apakah “tujuan” ketika kita bekerja? Apakah tujuan ini adalah tujuan yang sesuai dengan “ketentuan Tuhan” yang unik bagi masing-masing kita?
Paul Steven, seorang pendeta yang berkonsentrasi di bidang “marketplace” (dunia kerja) mencoba memberikan definisi tentang kerja “pekerjaan kita adalah pekerjaan Allah jika pekerjaan itu memberikan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, membawa kebaikan bagi manusia, meningkatkan makna hidup, dan mendatangkan damai sejahtera Allah bagi lingkungannya.”
Perlu bagi kita secara bekala mengambil kondisi “pause” untuk melihat kembali apakah kita sedang bekerja mengejar suatu tujuan, yang adalah tujuan yang sesuai dengan ketetapan Allah sehingga kita tidak larut dalam kerutinan dan hilang arah tanpa kita sadari. Atau keadaan dunia ini melarutkan kita dan membuat pekerjaan kita menjadi rutinitas dan pudar maknanya? Atau tujuan yang semula mulia terbelokkan menjadi mengejar kekayaan semata? Atau kita bekerja untuk mencari nama bagi diri kita, kita lupa mengembalikan hormat dan kemuliaan bagi Dia? Atau kita melalui hidup bekerja kita dengan penuh keluhan karena pekerjaan menjadi melelahkan? Jika itu yang terjadi kita perlu melakukan “reset” agar tujuan kembali ke arah semula.
Bukan tidak mungkin jika pekerjaan kita menjadi segala-galanya bagi kita. Identitas diri kita adalah pekerjaan kita. Jika kita tercabut dari pekerjaan tersebut berarti tercabut juga identitas diri kita. Jika ini terjadi berarti kita sedang lupa bahwa identitas kita adalah “Anak Allah yang harus membawa damai sejahtera”.
Tujuan hidup kita haruslah selaras dengan rencana mulia yang Tuhan gariskan bagi kita, sesuai dengan “grand design” kerajaan Allah. Dengan demikian kita tidak menarik garis pembatas antara hidup dalam kerajaan Allah (ibadah, melayani di gereja dsb) dengan hidup keseharian kita (bekerja, mendidik anak-anak, mengayomi keluarga, dll). Hidup keseharian kita adalah wujud nyata dari hidup ibadah kita kepada Tuhan. Jadi dengan demikian tidak ada pekerjaan yang “lebih mulia” jika semuanya dilakukan untuk memuliakan Dia. Melayani di gereja sama mulianya dengan bekerja tekun di kantor sejauh, sama juga mulianya dengan menemani anak kita nonton televisi sejauh semuanya kita lakukan dengan tujuan seperti definisi yang di atas. (NMM)