Yang penting ‘isinya’ bukan ‘bungkusnya’
YANG PENTING “ISINYA” BUKAN “BUNGKUSNYA”
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:19-20)
Beberapa waktu yang lalu saya mengantarkan anak saya untuk melanjutkan studi disebuah kota kecil di Australia. Selain mempersiapkan keperluan dia sehari-hari, di sana kami juga mencarikan gereja supaya anak saya bisa tetap mengikuti kebaktian untuk menjaga dan menguatkan imannya serta dia dapat bersekutu dengan saudara seiman.
Pada awalnya kami mencari gereja melalui website, karena pada saat itu kami belum mendapatkan informasi mengenai gereja Indonesia yang berdiri di sana dan kami juga belum mendapatkan nomer kontak Pdt Ayub, yang dulu melayani di GKI Kayu Putih yang saat ini melayani di sana. Dari beberapa website, kami mendapatkan banyak sekali gereja yang ada di kota itu. Pada saat kami melihat tayangan kebaktian mereka di youtube kami agak sedikit terkejut karena banyak gereja yang gedungnya besar, tetapi umat yang hadir dalam kebaktian hanya terdiri dari beberapa orang saja, sehingga gereja tampak kosong serta kebanyakan yang hadir adalah orang-orang lanjut usia.
Saat kami sedang makan siang disebuah rumah makan Indonesia, kami bertemu dengan saudara-saudara seiman yang banyak memberikan masukan mengenai gereja-gereja Indonesia di sana, bahkan kami bisa mendapatkan nomer kontak Pdt Ayub, yang saya yakin ini merupakan rencana dari Tuhan. Dari cerita mereka dan Pdt Ayub kami mendapat informasi bahwa justru sekarang gereja-gereja Indonesia mendapatkan tempat di gereja yang besar dari pemerintah Australia karena gereja-gereja tersebut sudah tidak aktif lagi dan sudah tidak ada umatnya. Saya tidak menduga kosongnya gereja-gereja dari umatnya tidak hanya terjadi di Eropa, ternyata hal inipun juga terjadi di Australia.
Saya menjadi teringat dengan beberapa cerita-cerita inspirasional yang disebarkan melalui akun sosialita yang dikirimkan akhir-akhir ini mengenai betapa lebih pentingnya isi dibanding dengan bungkusnya. Begitulah yang sudah terjadi di negara-negara Eropa dan Australia, bungkusnya yaitu “gedung gereja” mewah dan besar, tapi tidak ada isinya. Sungguh ironis, di tempat dimana mendirikan gedung gereja sangat mudah, malah tidak banyak umat yang beribadah.
Banyak alasan mengapa gereja-gereja ditinggalkan oleh pengikutnya, tapi ada sebuah tulisan menarik dari sebuah website Kristiani yang berpandangan bahwa alasan utama gereja-gereja di Eropa ditinggalkan umatNya adalah karena orang tua gagal mewariskan iman kepada anak-anaknya. Kemajuan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang positif dan negatif, selain membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan menyenangkan akan tetapi juga membuat persaingan semakin ketat sehingga semakin menguras waktu. Orang tua terlalu sibuk untuk memikirkan kebutuhan Jasmani, sehingga waktu yang tersedia untuk memikirkan hubungan dengan Tuhan dan sesama menjadi sangat terbatas yang pada akhirnya membuat kecintaan mereka pada Tuhan dan persekutuan dengan saudara seiman semakin berkurang dan tidak dirasakan penting bagi anak-anak mereka.
Ketakutan orang tua akan daya juang anak-anak mereka untuk mengatasi masalah keduniawian membuat mereka membekali anak-anak mereka dengan segala keahlian untuk bersaing tetapi seringkali lupa untuk melengkapi iman mereka. Mengajari anak-anak kita untuk menyikat gigi, memasang tali sepatu, belajar untuk mencapai hasil yang baik di masa depan, tetapi lupa untuk mengajarkan firman Tuhan.
Orang tua adalah panutan atau role model seorang anak, ‘monkey see monkey do”. Walaupun tidak selalu orang tua yang buruk mempunyai anak yang buruk, demikian pula sebaliknya, akan tetapi dalam banyak hal apa yang mereka lihat dalam diri orang tua mereka itulah yang mereka ingat, pelajari dan jadikan acuan dalam tindakan mereka.
Untuk mengevaluasi apakah kita sudah memberikan contoh kepada anak kita untuk mengutamakan Tuhan di dalam hidup kita, cobalah mengajukan pertanyaan ini kepada anak kita secara spontan pada saat santai, bukan pada saat kita sedang menasehati ataupun membahas suatu renungan. Misalnya pada saat anda mengemudi bersama keluarga atau pada saat makan bersama. “Menurut kalian apakah atau siapakah yang ayah atau ibu paling cintai di dunia ini?” Persekutuan doa yang saya hadiri pernah melakukan hal ini dan pada minggu berikutnya ketika kami membahas mengenai jawaban anak-anak kami, beginilah beberapa jawaban dari mereka: Tuhan, Papa/Mama, anak-anak, Makan, HP, golf, pekerjaan dan lain-lain.
Jawaban mereka ini akan menjadi masukan yang berguna bagi kita orang tua karena itulah yang mereka lihat kita cintai dan jika kita tidak mengubah diri sehingga mencerminkan rasa cinta kita kepada Tuhan, maka mereka tidak akan melihat dan merasakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dilakukan.
Marilah kita bersama bersehati untuk membimbing anak-anak kita untuk mencintai Tuhan, rajin bersekutu dengan sesama di gereja dan menerapkan ajaranNya dalam setiap aktifitas kehidupan dengan segala kesederhanaan bungkus yang tersedia, sehingga kita mempunyai dan dapat menunjukkan isi yang indah dan kuat.
Semoga anak-anak kita dimanapun mereka berada akan memberikan contoh kepada sesama mereka untuk melakukan perintah Tuhan yaitu mencintai Tuhan dan sesama manusia dengan sepenuh hati. Amin. (NAP)