Disiplin Diri
Seorang anak diharapkan untuk patuh pada apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Namun jika anak tersebut pada akhirnya tidak menuruti kemauan orangtuanya dengan berperilaku mengikuti apa yang dia kehendaki, sebagai orangtua kita tidak hanya harus sabar dalam mengajar, mendisiplinkan dan membimbing anak kita, tetapi juga perlu mengendalikan diri kita sendiri.
Ketika seorang dokter memvonis kita mengidap penyakit tertentu akibat gaya hidup kita, kita dituntut untuk disiplin dalam segala aspek hidup, seperti berolahraga rutin, makan makanan yang bergizi, berprotein dan berserat, minum air putih supaya ginjal terjaga, minum obat teratur dan beristirahat. Segala bentuk disiplin tersebut bertujuan agar harapan untuk sembuh dan terhindar dari sakit penyakit menjadi besar.
Tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga terjadi pada diri kita – tidak peduli berapa usia kita – seringkali kita tidak suka bila seseorang mendikte apa yang harus kita lakukan. Masalahnya, orang itu dapat meminta kita melakukan sesuatu yang tidak ingin kita lakukan, atau menempatkan kita dalam situasi yang tidak kita inginkan.
Sebuah peribahasa lama berbunyi demikian: “Lain waktu jika Anda menginginkan kue, makanlah wortel.” Peribahasa itu adalah menjadi nasihat yang baik bagi orang yang sedang menjalani diet. Namun, peribahasa ini juga berbicara kepada Bapak Ibu Saudara. Sekalipun tidak ada prinsip moral yang sedang dipertaruhkan pada saat kita sedang mendisiplinkan keinginan kita, sebenarnya kita sedang mempersiapkan diri jika kelak menghadapi godaan berbuat dosa.
Semua bentuk disiplin yang kita lakukan di dalam hidup inilah yang dimaksud Paulus ketika ia menggunakan istilah ‘penguasaan diri’ dalam daftar persyaratan bagi pemimpin gereja (Titus 1:8). Hal ini berlaku juga bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Banyak orang mengira dapat hidup secara tidak bermoral saat ini dan dan sewaktu-waktu dapat menghentikan kebiasaan buruk itu sekehendak hati mereka. Padahal kekuatan dosa mampu membuat orang ketagihan. Menjalani hidup dengan tujuan baik jauh lebih sulit daripada yang kita perkirakan.
Seringkali ketakutan muncul dalam hati kita saat diajar untuk mendisiplinkan diri, karena kita tidak memercayakan hidup kita kepada-Nya dan lebih suka melakukan keinginan daging. Jalan pikiran seperti ini mengandung masalah serius, sama sekali tidak benar. Kenyataannya, kita tidak dapat berkata kepada Allah untuk tidak memegang kendali dalam mendisplinkan diri kita. Dalam Mazmur 24:1 Daud berkata, “Tuhanlah yang mempunyai bumi serta segala isinya, dan dunia serta semua penghuninya.” Allah adalah pemimpin dari “mereka yang berdiam” di dunia, yaitu kita semua, umat manusia.
Karena itu kita dapat memercayai Dia dan memercayakan hidup kita kepada-Nya apabila kita mengakui kuasa-Nya. Kita berkata kepada-Nya, “Tuhan, Engkaulah pemimpinku! Aku mengakui kepemilikan-Mu, dan aku mau bekerja sama dengan-Mu untuk menyempurnakan kehendak-Mu.”
Amsal 25:28 menyatakan bahwa apabila kita tidak dapat mengendalikan diri, maka kita tidak berdaya seperti kota yang roboh temboknya. Disiplin diri yang dilakukan terus-menerus dapat membangun sistem pertahanan rohani untuk melawan kekuatan jahat.
Pada saat mendisiplinkan diri dengan mengekang hasrat-hasrat kita, kita telah menjalankan kebiasaan hidup yang baik dan mempraktikkan perkataan Paulus dalam Roma 6:18, “Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran”. Karenanya, untuk dapat mengendalikan diri, berikan kendali kepada Kristus. Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati Bapak Ibu SaudaraSaudari sekalian, Amin. (AFS)