Mendidik dengan Kasih
Pada tahun 2008 ayah meninggalkan saya dan adik-adik, itulah saat pertama kalinya kami ditinggalkan oleh orang yang sangat kami kasihi. Sebelumnya, banyak hal yang kami upayakan demi kesembuhan ayah kami. Usaha yang sangat menguras energi, waktu, biaya, serta perhatian penuh. Namun Tuhan berkehendak lain, Ia memanggil ayah kami untuk kembali ke pangkuanNya. Beberapa tahun kemudian, hal yang sama terjadi pada Ibu kami, perjuangan yang lebih serius harus kami lakukan untuk merawat Ibu kami sampai beliau juga harus kembali ke pangkuan Tuhan.
Banyak kenangan indah hadir dalam benak saya saat kepergian mereka, terutama saat saya diizinkan menentukan masa depan saya untuk menjadi musisi. Saya begitu berbahagia mendapatkan ijin tersebut dan mulai mempersiapkan diri untuk mendaftarkan diri pada suatu conservatorium dengan berlatih secara bersungguh-sungguh. Pada saat yang sama, sebenarnya saya sudah menjalani kuliah di jurusan akuntansi, tetapi hal tersebut saya tinggalkan.
Dengan penuh semangat saya mempersiapkan diri untuk dapat menjadi musisi yang baik. Tidak ada satu pun hari di mana saya berhenti berlatih, demi mencapai apa yang saya inginkan, yaitu menjadi mahasiswa pada salah satu conservatorium terbaik di dunia. Dengan pencapaian hasil yang cukup baik dari latihan, saya mulai mengurus dokumen yang harus dipenuhi sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi mahasiswa pada jurusan gitar klasik sebagai mata pelajaran mayor dan piano sebagai mata pelajaran minor.
Tiga hari menjelang keberangkatan saya, Tuhan menunjukkan kuasaNya. Saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan saya betul-betul harus melepaskan cita-cita saya, karena mengalami cedera serius pada jari tangan – bagian tubuh terpenting dari seorang musisi. Kehilangan tersebut menyebabkan saya sangat kecewa, saya merasa Tuhan tidak adil. Saat itu saya menjadi pribadi yang berperangai sangat buruk. Sekitar dua setengah tahun saya mengisi hari-hari saya dengan hal-hal yang tidak berguna.
Namun Tuhan tidak membiarkan saya berlarut-larut dalam kekecewaan. Dengan cara-Nya yang ajaib, saya dipertemukan dengan seorang teman satu almamater ketika belajar di jurusan akuntansi. Pertanyaan pertama yang dilontarkannya kepada saya adalah, apakah saya masih berkiprah di dunia musik. Dengan menunjukkan tangan dengan jari yang sudah sangat sulit untuk digerakkan, saya menyampaikan bahwa saya sudah tidak mempunyai harapan untuk menjadi musisi yang baik. Teman saya turut bersimpati melihat keadaan saya, tetapi dengan ragu-ragu teman saya bertanya apakah saya bersedia menjadi guru kesenian di Rumah Piatu milik keluarganya.
Rumah Piatu milik keluarga teman saya merupakan institusi sosial yang berazaskan agama Islam dengan nama Rumah Piatu Muslimin. Namun saya tetap mencoba menjalani profesi sebagai guru kesenian sebagai ganti cita-cita saya yang hilang. Aktivitas yang begitu kental terasa, sesuai azas yang menjadi dasar institusi tersebut. Namun setiap prosesi keagamaan yang mereka lakukan selalu memberikan pernyataan kepada saya bahwa menjadi pengikut Kristus adalah yang terbaik.
Setelah bergumul selama 8 tahun di sana, saya merasakan bahwa mengikut Kristus adalah yang terbaik bagi saya. Saya segera membuat keputusan untuk pulang. Walaupun saya tidak peka terhadap kehendak-Nya, tetapi Tuhan Yesus tetap memelihara dan mendidik saya di tempat yang tidak saya duga, seperti Yunus yang pernah dididik Tuhan di dalam perut ikan. (TNN)







Users Today : 1813
Users Yesterday : 3096
This Month : 53809
This Year : 516862
Total Users : 964712
Who's Online : 26