Aku divonis kanker
Kaget bukan main ketika dokter mengatakan bahwa aku kena kanker. Aku berusaha tenang. Lalu aku ditanya apa mau dioperasi. Suamiku menatap aku sambil mengangguk. Aku pun dengan tabah manjawab mau. Tetapi, setiba di rumah aku panik. Pakaian yang baru aku masukkan ke dalam tas aku keluarkan lagi. Lalu aku masukkan lagi dan keluarkan lagi. Aku menyuruh kedua anakku tidur dengan cara membentak. Malam itu aku berdoa, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba aku berhenti berdoa dan berpikir mungkin ini kekeliruan laboratorium. Masakan aku kena kanker? Ini pasti keliru.
Seorang pemuda mengeluh, ’Aku baru berumur 30 tahun, tetapi sudah divonis kanker. Langsung aku terpuruk. Hidupku tiba-tiba berubah. Semula aku merasa diri penting, sekarang aku orang yang tidak berharga. Aku jadi mudah tersinggung dan mudah marah.’
Seorang ibu lain dengan memelas berkata, ’Ini bulan kelima saya berobat. Yang paling berat adalah radiasi dan kemoterapi. Lihat rambut saya mulai botak. Tiap kali mencium wangi makanan, saya bukan merasa lapar, malah ingin muntah. Mana mungkin saya makan? Sekujur badan lemas. Sering saya bertanya apa dosa saya? Mengapa Tuhan memilih saya untuk mengalami penderitaan ini? Terus terang saya sering berdoa minta Tuhan panggil saya pulang saja.’
Lain pula reaksi seorang ayah yang mengidap kanker. ’Aku takut sekali, bagaimana kalau aku meninggal? Tugasku masih banyak. Siapa yang membiayai anak-anakku? Masakan mereka harus berhenti sekolah? Di gereja aku baru saja mulai menjadi penatua.’
Rupa-rupa perasaan berkecamuk dalam hati orang yang mengidap kanker. Terkejut. Takut. Menyangkal. Berusaha sembuh. Marah. Bingung. Sedih. Panik. Putus asa. Berharap. Mempercayakan diri. Melawan. Sudah jelas, orang yang terkena kanker mengalami guncangan jiwa.
Tetapi, seluruh keluarga pun ikut terguncang jiwanya. Jika ibu terkena kanker, maka ayah dan kita anak-anaknya tentu merasa terpukul. Kita pun terkejut, takut, bingung, sedih, berharap, dan lain sebagainya.
Di sinilah letak persoalan kita. Ibu kita sedang ditimpa beban berat. Ia membutuhkan pengertian dan topangan dari kita. Tetapi, kita sendiri pun sedang terguncang. Bagaimana kita bisa meneduhkan hati ibu yang panik jika kita sendiri pun sedang panik? Oleh sebab itu, pertama-tama kita perlu berupaya keras menahan diri dan menutupi perasaan kita. Sebelum kita mampu meneduhkan hati ibu, kita perlu meneduhkan hati kita sendiri.
Kanker adalah sel-sel ganas yang menyerang sel-sel lainnya dalam tubuh kita. Tubuh kita dapat mempertahankan diri, menjinakkan, dan mematikan sel-sel ganas itu. Caranya bisa dengan tindakan-tindakan medis, asupan makanan bergizi, dan tekad bulat orang yang bersangkutan untuk mempertahankan diri dan melawan. Jelasnya, tidak menyerah. Ibu kita menghadapi pilihan itu: menyerah kalah atau melawan. Dalam keadaan itu, ia memerlukan topangan kita sebagai orang-orang terdekatnya.
Keluarga perlu bersikap kompak dalam menopang ibu. Jika ada anak kecil, perlu diberi penjelasan. Yang pertama-tama dibutuhkan ibu adalah pengertian. Kita perlu mengerti mengapa ibu tiba-tiba mudah marah, menyendiri, mudah tersinggung, mudah salah paham, cerewet, mudah menangis, atau yang lainnya.
Tidak perlu kita sengaja membicarakan soal ini dengan ibu, namun di lain pihak, janganlah kita melarang ibu mengungkapkan perasaannya dan menceritakan penyakitnya. Ibu membutuhkan teman bercurah hati.
Selanjutnya, perlu kita sepakati sebagai keluarga untuk bersikap wajar terhadap ibu. Tidak usah ada sikap yang berlebih-lebihan. Lagi pula tidak usah kita menghindari penyebutan kata kanker. Tidak perlu kata tersebut kita singkat menjadi ce-a. Penyakit hepatitis juga tidak kita singkat menjadi ha-e. Aneh pula kalau kita berkata ‘ibu divonis ce-a.’ Mengapa kita menyebutnya vonis? Penyakit apapun bukanlah vonis, sebab vonis berarti hukuman yang diputuskan oleh sidang pengadilan.
Ibu kita sedang bergumul. Ia sedang meronta bagaikan orang yang tenggelam di laut. Ia mencari pegangan. Lalu sebilah papan yang diraihnya dipegangnya dengan eraterat. Itu pegangan hidup. Ibu berpegang kepada Kristus. Sama seperti Rasul Paulus, ibu juga yakin, ‘Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?’ (Rm. 8:35-39). Tidak ada! Kondisi (penyakit) apa pun ‘tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah’.
Ibu kita berpegang pada kasih Kristus. Bagaimana ibu merasakan adanya kasih Kristus itu? Ia merasakannya dari pengertian, perawatan, dan topangan sehari-hari orangorang terdekatnya. Kasih Kristus datang kepada ibu melalui kita. Kitalah tangan kanan dan tangan kiri Kristus yang mewujudnyatakan kasih itu. (dikutip dari buku “Selamat berjuang”, Andar Ismail)