Dari Pengakuan menuju Persekutuan yang Dipulihkan
Seorang anak secara diam-diam mengemudikan mobil ayahnya tanpa meminta izin dan pergi bersama beberapa temannya. Saat kembali, tanpa disengaja mobilnya menyerempet pagar yang menyebabkan lecet di sebelah kiri pintu. Karena panik dan takut, dia langsung memasukkan mobil ke garasi dan diam-diam masuk ke dalam rumah tanpa bercerita kepada siapapun. Esok harinya ayahnya mengendarai mobil tersebut. Di tengah perjalanan ayahnya baru sadar bahwa ada lecet baru di pintu kiri. Karena heran, ayahnya menceritakan kejadian tadi kepada anak tadi dan ibunya di rumah. Si anak yang mengetahui kejadian sebenarnya menjadi gelisah. Ia tidak tenang saat makan bersama, tidak berani menatap mata ayahnya dan menjauh. Namun pada malam itu juga, si anak tersebut memberanikan diri mengaku, “Ayah, aku memakai mobil ayah secara diam-diam dan membuatnya lecet. Tetapi maaf, aku takut sehingga tidak berkata jujur.” Ayahnya menatap si anak dengan tersenyum sambil berkata, “Syukurlah kamu berani mengaku, Nak. Mobil bisa diperbaiki, tapi hubungan kita lebih penting. Ayah senang karena kamu sadar dan jujur.” Si anak lalu berkata, “Iya, Ayah. Sekarang aku jauh lebih tenang. Aku nggak mau hubungan kita menjadi jauh hanya karena aku takut berkata jujur.” Bapak dan anak itu kemudian berpelukan.
Dalam Lukas 18:9-14 Yesus memberikan perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai. Orang Farisi berdoa dengan menyebut bahwa ia bukan penjahat dan telah melakukan semua hal baik – ia berpuasa, memberi persepuluhan, dan hidup saleh. Namun, di dalam doanya tersembunyi kesombongan. Ia tidak sedang berbicara kepada Allah, melainkan membanggakan diri di hadapan Allah. Sebaliknya, seorang pemungut cukai – yang dianggap pendosa dan hina dalam masyarakat – berdiri jauh-jauh. Ia tidak berani menengadah ke langit, hanya menunduk dan memukul dadanya sambil berkata, “Ya Allah, kasihanilah saya, orang berdosa ini!” (Luk. 18:13). Yesus berkata, bahwa pemungut cukai lah yang dibenarkan Allah, bukan orang Farisi. Karena yang Allah lihat bukanlah pencapaian rohani, melainkan kerendahan hati dan kejujuran hati.
Kisah anak dan bapak di atas mengajarkan hal yang sama dengan perumpamaan yang Yesus ceritakan. Seringkali kita sama seperti si anak, menyembunyikan kesalahan kita di hadapan Allah, berharap masalah selesai jika kita diam. Padahal yang terjadi malah sebaliknya: hati tidak tenang dan malah menjadi jauh dari Tuhan.
Allah tidak mencari orang yang sempurna seperti orang Farisi tersebut, melainkan seperti pemungut cukai tadi: berani datang, merendahkan diri, mengaku dosa dan memohon pengampunan dari Tuhan.
Sebagai orang yang hidup dalam iman Kristus, kejujuran dan kerendahan hati adalah dasar dari relasi yang sehat dalam dengan Allah. Hubungan dengan Allah bisa rusak bukan karena dosa itu sendiri, melainkan karena kita menolak untuk mengakui bahwa kita melakukan kesalahan dan dosa. Kita diminta untuk jujur guna memberi ruang bagi kasih Allah untuk bekerja, memulihkan dan menyembuhkan.
Pesan untuk Kita Semua:
- Rusaknya hubungan kita dengan Allah disebabkan tidak hanya oleh dosa itu sendiri, melainkan juga karena kita tidak mengakui dosa kita.
- Tuhan mengampuni dan memulihkan segalanya saat kita datang dan berkata, “Tuhan, aku mengakui kesalahanku,”
- Allah akan menyambut kita kembali bukan dengan kemarahan melainkan dengan kasih yang memulihkan.
Selamat hari Minggu. Tuhan Yesus memberkati kita semua. AMIN. (MMN)




Users Today : 941
Users Yesterday : 2605
This Month : 43460
This Year : 439139
Total Users : 886989
Who's Online : 9