Sursum Corda
Dalam seminggu terakhir, saya mendapat tiga renungan yang sangat mengena bagi saya. Renungan pertama berasal dari seorang teman yang pada intinya mengatakan bahwa saat kita dikecewakan oleh sesuatu – keluarga, rekan sejawat atau bahkan rekan sepelayanan – kita perlu tetap bersandar pada Tuhan. Renungan kedua saya peroleh dari RPK yang mengingatkan bahwa sekalipun tidak ada yang melihat, tetapi bila kita berpaut pada Tuhan, kita tidak akan mau melakukan hal yang membuat-Nya bersedih. Renungan ketiga saya dengar dari Our Daily Bread, yang mengatakan bahwa saat kita belum melihat adanya kemajuan atas apa yang kita doakan, kita harus tetap percaya kepada- Nya. Ketika saya memikirkan ketiga renungan tersebut, saya menemukan benang merah, yaitu bahwa hidup kita harus senantiasa fokus dan terarah kepada-Nya. Bukan hanya mengarahkan mata kita kepada-Nya, tetapi juga hati kita, pikiran kita, dan seluruh keberadaan kita.
Saya mencoba lebih dalam merenungkan hal ini, maka segera melintaslah perjalanan hidup saya. Ada yang manis, ada pula yang pahit. Ada yang penuh tawa kegembiraan, ada pula yang berisikan isak tangis kekecewaan. Saya menemukan tiga situasi (saya singkat menjadi 3S) yang di dalamnya, saya – dan saya rasa juga setiap orang – akan memilih, apakah akan hidup mendekat kepada Tuhan, menjauh dari-Nya, atau malah menjadi tidak peduli. Syang pertama adalah Susah. S yang kedua adalah Senang. Meskipun S pertama bertolak belakang dengan S kedua, tapi pada dasarnya kedua S ini akan segera menunjukkan karakter asli seseorang. Ada orang yang pada saat hidup aman bisa aktif melayani, tetapi saat hidupnya susah dan penuh tantangan mulai menggerutu, meninggalkan pelayanan bahkan menyangsikan Tuhan, demikian pula sebaliknya. Namun ada S lain yang – menurut saya –justru merupakan aspek terbesar yang membuat orang terdistrak dari Tuhan, yaitu So-so (alias Sedang Sedang atau Segitu Segitu aja). Suatu situasi di mana hidup berjalan seperti suatu rutinitas, yang demikian auto-pilot-nya, sehingga seseorang yang menjalaninya lambat laun tidak lagi melihat adanya campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Dia hanya merasa bahwa hidup yang dijalaninya berjalan karena memang sudah begitulah adanya.
Para Bapa Gereja memahami betapa pentingnya orang percaya untuk senantiasa berpaut pada Tuhan, hingga menciptakan suatu dialog pengutusan yang dilakukan secara responsorial menjelang akhir ibadah yang disebut Sursum Corda (secara harafiah berarti: “Angkatlah Hatimu” atau “Arahkanlah Hatimu”), yang mulai diberlakukan secara luas sejak abad 3 AD. Atas narasi ini, umat akan menjawab dengan, “Kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan”. Hati yang tidak terarah kepada Tuhan akan segera menjadi sasaran empuk si Jahat, yang sangat piawai menawarkan kenikmatan dunia untuk menjauhkan kita dari kasih Bapa. Itulah sebabnya, setiap saat kita perlu memilki hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan. Bukan hanya di dalam Tuhan ada damai sejahtera, sukacita dan jawaban atas segalanya; tetapi lebih dari itu, di dalam Tuhan ada keselamatan yang kekal.
Benarlah lirik lagu tradisional Kristen berikut ini:
Turn Your Eyes upon Jesus, look full in His wonderful face. And the things of earth will grow strangely dim, in the light of His glory and grace.
Ketika kita mengarahkan mata kita pada Tuhan Yesus dan memandang wajah-Nya, segala sesuatu yang ada di dunia segera redup oleh sinar kemuliaan dan anugerah-Nya. Marilah kita tetap berkarya dan bekerja dengan mata, hati, dan pikiran yang senantiasa terarah pada Tuhan. Haleluya. (ITT)