Hormatilah Ayah dan Ibumu
Syalom Bapak Ibu terkasih umat GKI Kota Wisata. Mengawali minggu pertama di bulan November, menjelang akhir tahun ini, saya mengajak kita yang membaca renungan ini untuk sejenak berefleksi dan menilai diri kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan atas firman Tuhan mengenai hukum kelima dalam Asheret Ha’devarim (Sepuluh Perintah Allah). Ayat yang pendek, tetapi membutuhkan pembahasan yang agak panjang. Hukum kelima adalah jembatan antara dua bagian Dekalog (Sepuluh Firman) antara tanggung jawab manusia kepada Allah dan tanggung jawab manusia kepada sesama. Ia menempati posisi peralihan, karena orang tua menjadi wakil pertama dari otoritas Allah di bumi.
Menghormati ayah dan ibu bukan sekadar etika sosial, melainkan tindakan teologis, pengakuan akan sumber kehidupan yang datang dari Allah melalui mereka. Kata kabbed dalam bahasa Ibrani berarti memberi bobot, menghargai, memuliakan, menganggap penting. Akar katanya sama dengan kata kavod yang berarti “kemuliaan”. Dalam konteks ini, menghormati orang tua berarti memberi mereka tempat yang “berat” dalam hidup kita, menganggap mereka bernilai, berharga, dan layak didengar. Dalam dunia modern yang sering menyanjung kebebasan pribadi, kata kabbed mengingatkan kita bahwa kemerdekaan sejati tidak berarti meniadakan otoritas, melainkan menempatkan otoritas pada posisi yang benar.
Menariknya hukum ini disertai janji: “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN”. Dalam budaya Ibrani kuno, umur panjang bukan sekedar lamanya hidup secara biologis, melainkan lambang kehidupan yang penuh damai, teratur, dan diberkati. Tanah yang dijanjikan bukan hanya wilayah geografis, tetapi juga simbol dari syalom kehidupan yang berada dalam keharmonisan dengan kehendak Allah. Dengan kata lain, menghormati orang tua bukan hanya menjaga hubungan keluarga, tetapi juga menjaga tatanan ilahi dalam masyarakat. Ketika hukum ini ditulis, konteks sosial bangsa Israel masih patriarkal, di mana ayah berperan sebagai kepala keluarga dan imam rumah tangga. Namun, perintah ini tidak hanya menyebut “ayah” tetapi juga “ibu”. Dalam Budaya Timur Dekat Kuno, menyandingkan nama ibu sejajar dengan ayah merupakan sesuatu yang radikal, menunjukkan bahwa Allah menilai peran keduanya sama penting. Dalam hal ini, Torah menanamkan nilai kesetaraan dan penghormatan yang mendalam terhadap peran ibu.
Yesus menguatkan prinsip ini dalam pengajaran-Nya. Dalam Matius 15:4-6, Ia menegur orang Farisi yang menggunakan dalih persembahan korban untuk mengabaikan tanggung jawab terhadap orang tua. Bagi Yesus, kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih dan hormat kepada orang tua. Ia menyingkap kemunafikan agama yang tampak saleh di luar, tetapi menolak kasih yang nyata di dalam rumah. Di atas salib pun, ketika tubuh-Nya menderita, Yesus tidak melupakan ibu-Nya. Ia menyerahkan Maria kepada Yohanes dengan berkata, “Inilah ibumu!” (Yoh. 19:27). Tindakan itu menunjukkan bahwa menghormati orang tua bukan hanya kewajiban masa muda, tetapi panggilan seumur hidup bahkan hingga titik kematian.
Dalam terang Perjanjian Baru, Rasul Paulus mengutip hukum ini dan menegaskan kembali janji yang menyertainya: “Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Ef. 6:2-3). Ia menambahkan dimensi relasi baru: ketaatan anak kepada orang tua dilakukan “di dalam Tuhan”, artinya dalam kesadaran iman, bukan sekedar karena tradisi. Ketaatan yang lahir dari kasih, bukan paksaan, adalah bentuk penyembahan sejati. Namun, hukum ini juga mengandung sisi reflektif bagi para orang tua. Jika anak diperintahkan untuk menghormati, maka orang tua pun terpanggil untuk hidup dengan layak dihormati. Mazmur 103:13 berkata, “Seperti bapak sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang yang takut akan Dia.” Hormat tumbuh dari teladan kasih. Anak-anak belajar menghormati Allah melalui cara mereka melihat kasih, kesabaran, dan integritas orang tuanya.
Dalam dunia yang bergerak cepat, banyak hubungan keluarga retak karena kelelahan, kesibukan, dan ego. Namun hukum kelima mengundang kita untuk kembali kepada alasan mendasar menghormati mereka yang menjadi saluran hidup kita. Tidak ada masa di mana hukum ini usang, karena menghormati orang tua adalah bentuk syukur kepada Allah yang menenun hidup melalui mereka. Ketika kita menghormati mereka, bahkan dalam usia tua mereka, kita sedang menanam benih bagi generasi berikutnya. Sebab anak-anak belajar bagaimana menghormati orang tua dengan melihat bagaimana kita memperlakukan orang tua kita.
Hukum ini bukan hanya etika vertikal, tetapi warisan moral lintas generasi. Menghormati tidak selalu berarti setuju dengan semua tindakan mereka, tetapi mengakui bahwa “hidupku berutang pada mereka, dan kasih Allah telah menyentuhku melalui tangan mereka.”
Hukum kelima bukan sekedar perintah tentang keluarga, melainkan panggilan untuk mengenal kembali wajah Allah dalam relasi yang paling mendasar, antara anak dan orang tua. Ketika kita belajar menghormati mereka, sesungguhnya kita sedang belajar menghormati Sang Pemberi Hidup sendiri.
Keluaran 20:12 “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya kamu hidup lama di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”
Selamat Hari Minggu, Tuhan Yesus memberkati kita semua. (AFS)






Users Today : 2112
Users Yesterday : 3096
This Month : 54108
This Year : 517161
Total Users : 965011
Who's Online : 13