Gaya Hidup Kita
Gaya hidup kita
Tak ada gunung, pantai, atau kota yang sama. Tak ada orang, bangsa, suku, bahasa, dan budaya yang sama. Sayangnya, banyak orang ramai-ramai memperjuangkan dan menunjukkan dengan segala cara, bila perlu dengan paksa, kekhasan masing-masing. Sedihnya, kecenderungan ini melanda juga umat beragama, “Agamaku tidak sama dengan agamamu, agamaku lebih besar dan lebih baik ketimbang agamamu. Bila agamamu tidak sama dengan agamaku, berarti salah bahkan sesat, dan karena sesat perlu dijauhi, bahkan bila mungkin dibasmi.” Maka, tak heran jika kemudian muncul berbagai bentuk sikap dan perbuatan mempertahankan eksklusivitas itu.
Saya tergugah oleh frasa “gaya hidup kita” yang dicantumkan pada salah satu ayat dari Alkitab terjemahan kontemporer. Ketika mencari arti frasa itu, kebanyakan hasil pencarian terfokus pada hal-hal yang dianggap orang dapat mengancam gaya hidup mereka selama ini, seperti masalah perubahan iklim, terorisme, dan kebijakan pemerintah. Saya pun bertanya-tanya: Apa sebenarnya gaya hidup kita sebagai pengikut Yesus? Apakah sesuatu yang membuat kita merasa nyaman, aman, dan bahagia, ataukah yang lebih dari itu?
Lebih dari dua puluh abad yang lalu, dalam Perjanjian Baru, Allah kembali menunjukkan, melalui sang Kristus dan Roh-Nya yang dicurahkan, cara pandang yang unik: Siapakah sesamaku…? “Apa yang kaulakukan bagi saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, engkau melakukannya bagi-Ku” (Mat. 25:40). Oleh Roh, kita semua yang berbeda- beda, disatukan dalam-Nya, dan apabila kita hanya memberi salam kepada saudara- saudara kita saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? (Mat. 5:47)
Paulus mengingatkan umat Kristen di Efesus tentang karya luar biasa Allah yang telah mengubah hidup mereka. “Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita – oleh kasih karunia kamu diselamatkan” (Ef. 2:4-5). Hasilnya, kita “diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (ay.10).
Maka kita, anak-anak-Nya, dipanggil untuk melihat dengan mata dan hati yang baru. Segenap ciptaan diciptakan Allah secara unik. Tidak ada satu pun yang persis sama. Pohon dan bunga sejenis tidak pernah sama. Apalagi berjuta pohon dari berbagai jenis. Begitupun dengan manusia. Bahkan manusia kembar pun tidak persis sama. Sidik jari mereka berbeda, dan kepribadian mereka bagaimanapun berlainan. Apalagi di antara bermiliar manusia warga bumi kita ini yang terdiri atas berbagai bangsa, suku dan ras. Namun betapapun perbedaan di antara berbagai ciptaan dan makhluk itu, mereka sebenarnya mempunyai kesamaan. Mereka semua mempunyai hidup, yang bersumber kepada Allah yang mengaruniakannya. Dan pada manusia sendiri terdapat karunia- karunia yang sama pada setiap orang, yaitu kemampuan untuk mencintai. Dua hal hakiki yang mestinya mampu menjembatani semua perbedaan bahkan menghargainya, hidup dan cinta.
Berbuat baik, menolong sesama, memberi, mengasihi, dan melayani dalam nama Yesus, semua itu patut menjadi gaya hidup kita. Bagi orang percaya, tindakan-tindakan itu merupakan keharusan dan alasan utama mengapa Allah memberikan kita hidup di dalam Kristus. Dalam dunia yang selalu berubah-ubah, Allah telah memanggil dan memampukan kita untuk menjalani kehidupan yang melayani sesama dan memuliakan-Nya.
-ODR
Sumber: disadur dari tulisan “Berbeda itu Indah” oleh Pdt. Purboyo W. Susilaradeya dan “Gaya Hidup Kita” oleh David C. McCasland, dengan perubahan seperlunya